Sudah menjadi komitmenku sejak awal ketika membuka bisnis
kecil-kecilan gerai fotokopian sekaligus jasa printer dengan harga mahasiswa ini
untuk tidak turut libur di hari Minggu seperti gerai fotokopi lainnya. Alasanku
sederhana. Pasti akan ada saja satu atau dua mahasiswa yang tetap membutuhkan
jasa fotokopi atau printer di hari libur, kan? Mengingat aku yang juga
mahasiswa dan membutuhkan itu.
Hanya saja khusus di hari Minggu, aku sengaja membuka gerai fotokopi
lebih siang dari biasanya. Jika pada hari kerja, aku biasa membuka gerai pukul
enam pagi dan tutup pada pukul 11 malam, maka pada hari Minggu, pukul sembilan
pagi dan tutup pukul sembilan malam. Selain itu, biasanya di hari kerja aku
menitipkan gerai fotokopi pada Bang Jali, pemilik bengkel motor di samping
geraiku, dan keponakannya, Arif, yang hanya tamatan SMK.
Namun menjelang sore sepulang kuliah, akulah yang menjaga gerai
fotokopi hingga tutup. Tak jarang aku mengerjakan tugas kuliah di sini, bukan
di rumah kontrakan. Sedangkan pada hari Minggu, akulah yang setia berada di
sisi mesin fotokopi. Menunggu pelanggan.
Biasanya, mahasiswa yang banyak menjadi pelangganku justru adalah
mahasiswa dari universitas swasta yang letaknya di Jalan Kaliurang km. 14.5 karena
letak gerai ini berada di Jalan Kaliurang km. 8,5 dan rumah kontrakanku hanya
berjarak 200 meter dari sini. Cukup jauh memang dari kampusku, yang berada di
Bulak Sumur. Namun, yang penting bukanlah berapa jauh jarak, tapi setiap hari
tetap berangkat ke kampus dan on time.
Hari Minggu ini, setelah berolahraga di jogging track kampus, aku langsung sarapan, mandi, dan bergegas
membuka gerai fotokopian. Sejak pagi, awan mendung menggelayut rendah menaungi
kota Yogyakarta. Sesaat setelah menyapu dan membereskan gerai, aku langsung
berkutat di depan layar laptop untuk menyelesaikan laporan praktikum. Sudah
biasa, setiap hari Minggu geraiku sepi. Apalagi pada jam-jam yang rawan
digunakan untuk berjalan-jalan oleh sebagian besar anak muda. Siapa pula yang
merelakan hari libur untuk sekedar pergi ke tukang fotokopi, mengeprint bahan
ujian atau memfotokopi catatan teman?
Jerry, teman kontrakanku sering meledek, “Dim, kau itu aneh ya.
Dimana-mana, tukang fotokopi itu meliburkan diri di hari Minggu, beristirahat.
Atau mungkin jalan-jalan dengan seseorang...” ia menggantungkan kalimatnya.
Aku hanya tertawa mendengar komentar itu. Lagipula, jika ‘berhari
Minggu’ dengan siapa? Tembok? Cukuplah aku menghabiskan hari libur bersama
mesin fotokopi dan tugas kuliah.
Aku masih sibuk dengan laporan praktikum, sementara rintik hujan
terdengar pelan menerobos telinga. Semakin deras dan semakin deras. Memaksa
hawa dingin menyergap, maka refleks kumatikan kipas angin. Aku beranjak dari
hadapan laptop, berpikiran untuk menyeduh teh hangat.
Tidak sampai 10 menit, aku kembali dengan secangkir teh yang masih
mengepulkan asap, menebar aroma khas melewati indera penciuman. Baru saja
hendak duduk, seseorang berlari kecil masuk ke geraiku. Seorang gadis yang
mengenakan jilbab abu-abu dan sweater warna senada yang basah dan terlihat
kebesaran di tubuh mungilnya. Ia tampak terengah-engah.
Gadis itu memiliki alis mata yang melengkung natural, menaungi
sepasang bola mata hitamnya yang belo. Hidungnya mancung, amat serasi dengan
kedua belah pipinya yang tembem dan kini bersemu merah. Sebuah senyum merekah
begitu manis di wajah itu. Subhanallah.
“Syukur alhamdulillah masih
ada gerai fotokopi yang buka hari ini. Mas, mau nge-print sekaligus fotokopi bisa kan?” tanya gadis itu. Serta merta
kedua mata belonya menghujamku tanpa ampun.
“Mas, kok bengong?” kedua alisnya
bertaut.
“Eh iya, silahkan, silahkan,” jawabku gelagapan dengan senyum bodoh
tersungging kaku di wajahku.
Karena sibuk menelusuri wajah itu, aku sampai lupa
meletakkan cangkir tehku di meja.
Gadis itu tersenyum, lalu duduk di depan salah satu komputer dan mulai
mengutak-atik file dalam flashdisk
nya. Diam-diam, mataku masih mengekori gerak-geriknya.
Dering telepon tiba-tiba menyentakku. Aku buru-buru mengalihkan
pandang darinya yang kini berbicara di telepon. Astaghfirullah, zina mata.
“Halo, assalamualaikum. Iya,
Di? Iya, ini aku baru mau nge-print.
Bahannya cuman yang kamu copy ke flashdisk ku kan? Oke, oke. Iya, beres.
Hmm... iya, oke. Iya nih, setelah lama mencari akhirnya ketemu juga yang buka.
Iya, tukang fotokopi pada asyik berhari Minggu deh kayaknya. Apa? Memangnya
kenapa kalau aku sibuk menunggu mereka buka? Aku single terhormat kok walaupun nggak berhari Minggu!” celotehnya
riang.
Aku tersenyum mendengar percakapannya itu. Single terhormat katanya? Persis pembelaan yang sering kulontarkan
pada Jerry setiap meledekku.
“Iya, iya. Beres. Kamu besok hutang beliin aku cappucino ya. Aku basah-basahan nih, hehehe. Ya udah, bye! Waalaikumussalaam,”
gadis itu mengalihkan ponsel di telinganya ke atas meja. Sesaat kemudian
terdengar suara mesin printer mulai bekerja.
Gadis itu berdiri, lalu berbalik menghadap ke arahku, “Mas, nanti
sekalian fotokopi, ya,” ucapnya padaku.
“Bisa, bisa,” jawabku.
Kami lalu sama-sama diam, menunggu mesin printer selesai mencetak.
“Dari tadi nyari gerai fotokopi yang buka, ya?” tanyaku pelan. Suaraku
nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.
“Iya, Mas. Nggak ketemu-ketemu. Sepanjang Palagan tutup semua. Untung
deh di sini buka. Perlu dicontoh nih, tukang fotokopi yang nggak pilih-pilih
hari,” jawabnya tertawa kecil.
Aku mengulum senyum. “Ini mau difotokopi semua?”
“Iya, masing-masing 2 rangkap ya, Mas,” jawabnya.
Aku mengangguk dan langsung mengerjakannya. “Duduk dulu aja,”
Ia menurut, lalu kembali duduk di depan komputer. Memperhatikanku.
Ingin rasanya aku bertanya, apakah dia satu kampus denganku atau dia
mahasiswa universitas yang letaknya di Kaliurang km. 14 itu? Namun aku tak
cukup berani, karena takut menyinggungnya. Apa yang akan dipikirkannya jika
aku, yang hanya seorang tukang fotokopi –di matanya- tiba-tiba bertanya hal
yang pribadi seperti itu? Sementara sibuk berdebat dalam hati, pikiranku tetap
tertuju pada bahan yang ia print itu. Tertulis besar-besar judul di halaman
pertama power point itu PSIKOLOGI UMUM. Apa
dia mahasiswa psikologi?
“Sudah siap,” kataku kemudian, “Jadi semuanya delapan ribu tiga ratus,
ya,”
Gadis berjilbab itu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan,
“Kembaliannya disimpan aja, Mas,” ucapnya tersenyum, mengambil alih
fotokopiannya.
“Lho, tapi...”
“Matur nuwun, Mas. Permisi,”
Tak sempat aku menolak, ia sudah berlari menerobos derasnya hujan.
Meninggalkan aku dan rasa penasaran dalam hati yang tidak terjawab.
Apa mungkin aku akan bertemu lagi dengan gadis itu?
**
Hari-hari berlalu dan aku memang tidak pernah lagi bertemu dengan
gadis berjilbab itu. Namun tiada hari tanpa menaruh harapan agar ia kembali
membutuhkan jasa fotokopiku atau setidaknya lewat di depan geraiku.
Aku baru saja sampai di gerai fotokopian menjelang maghrib. Arif
menyambutku dengan bercerita,
“Mas, tadi ada mahasiswa yang fotokopi tapi
bayarnya lebih terus ra gelem dibalekke kembaliane. Subhanallah tenan, Mas. Wes ayu, ramah lagi,” dengan aksen Jawa yang kental.
Aku terkejut mendengar cerita itu. Jangan-jangan gadis itu... “Dia
berjilbab? Bahan fotokopiane
berhubungan karo psikologi ra, Rif?”
“Iya Mas, bener. Lha kok ngerti,Mas? Kancane Mas Dimas to?”
Aku menggeleng, “Bukan, Rif. Dia... memang pernah ke sini juga dan bayar
lebih tapi nggak mau ambil kembalianne,”
aku memutuskan untuk tidak menceritakan rasa penasaranku itu pada Arif.
Hal ini nyatanya terjadi berulang kali. Gadis itu memang kembali lagi
pada hari-hari berikutnya untuk menggunakan jasa fotokopiku. Dan lagi, ia
selalu menolak mengambil uang kembalian. Namun sayang, ia selalu datang ketika
aku tidak ada. Aku mengetahui hal ini karena Arif dan Bang Jali selalu
menceritakan perihal kedatangan “gadis ayu
yang selalu membayar lebih tanpa meminta kembalian” itu.
**
Hari ini adalah hari paling melelahkan karena 2 kali berturut-turut
praktikum. Belum selesai lelah karena praktikum itu, laporan sudah menunggu.
Aku baru saja sampai di gerai fotokopiku ketika mataku menemukan sebuah blocknote berwarna ungu di sudut meja.
“Rif, iki nggone sopo?”
“Oh, itu... Iyo Mas. Itu nggone Mbak-Mbak ayu yang selalu ndak mau
dikasih kembalian. Kayak e sih dia
buru-buru banget tadi, sampai ketinggalan gitu,” jawab Arif.
Jantungku berdegup kencang seketika. Jadi blocknote ini miliki gadis itu? Perlahan aku meraih blocknote itu dan membukanya. Di halaman
pertama, tertulis jelas sebuah nama “Quinnita Dwi Kinanthi, Psikologi UII
2014”.
Detik itu, rasanya bongkahan batu besar yang selama ini menghimpitku
terangkat seketika. Akhirnya setelah lama menunggu, aku mendapatkan nama gadis
itu.
“Ono opo, Mas? Kok
senyam-senyum dewe, to?” tegur Arif yang sudah bersiap untuk
pulang.
“Rapopo, Rif. Suwun, yo,” aku menepuk bahunya dengan melebarkan
senyum.
Maka tanpa menunggu, hari berikutnya, sekitar pukul sembilan pagi, aku
meluncurkan motorku ke Jalan Kaliurang km.14 untuk mengembalikan blocknote
milik gadis itu. Quinnita. Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mempermudah jalanku
untuk bertemu dengannya. Tapi, apa dia masih ingat padaku? Kami sudah lama
tidak bertemu. Apa mungkin ia masih ingat dengan si tukang fotokopi ini?
Motorku memasuki wilayah kampus UII. Namun aku harus menelan
kekecewaan manakala aku melihat parkiran motor di Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya itu sepi, hanya ada beberapa motor saja. Bahkan parkiran mobilnya
pun sepi. Tapi kulihat fakultas lain tadi tetap masuk. Aku mematikan mesin
motor, dan kuputuskan untuk bertanya pada penjaga parkiran.
“Permisi, Pak, numpang tanya. Hari ini kok Fakultas Psikologi ini sepi
betul?”
“Woo, lha nggih, Mas. Ini
kan hari Sabtu, ya memang libur. Memang biasane ada beberapa kelas yang masuk,
untuk kuliah pengganti. Tapi selebihnya libur Mas,” jawab pria paruh baya itu.
Aku menepuk dahi. Ya ampun,
kenapa aku bisa lupa kalau ini hari Sabtu? “Oh gitu. Nggih matur nuwun sanget,
Pak. Permisi,”
“Nggih, Mas, nggih. Sami-sami. Monggo,”
Aku menyalakan motor lalu meninggalkan kampus itu. Tuhan masih ingin
menguji kesabaranku kali ini. Sudahlah, toh masih ada banyak hari setelah ini.
Hari Senin pagi, setelah kelas pertamaku bubar, tanpa banyak basa basi
dengan teman-teman yang lain, aku langsung mengambil motorku di parkiran.
Bahkan panggilan Jerry dan Ilham, tidak kuhiraukan. Tekadku sudah bulat untuk
bertemu dengan gadis itu hari ini.
Perjalanan dari kampusku ke kaliurang km.14 kutempuh dalam waktu 20
menit. Setelah memarkirkan motor dengan aman, aku bergegas masuk ke Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu. Menyusuri lorong dan koridor kelasnya
dengan mata liar mencari sosok gadis itu di antara mahasiswa lainnya.
Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Apa jangan-jangan dia
sedang ada kelas? Atau dia belum datang? Atau justru sudah pulang? Atau
buruknya dia tidak ke kampus? Oh pikiran buruk, menghilanglah! Aku berusaha
mencarinya setenang mungkin meski jantungku berdebar keras.
Aku hampir saja berbelok ke arah tangga di atas tempat fotokopian
mahasiswa, namun langkahku terhenti karena mataku menangkap seorang gadis berjilbab
hitam, mengenakan baju berwarna abu-abu, juga rok lebar berwarna abu-abu tua
turun dari tangga bersama beberapa mahasiswa lainnya. Itu Quinnita.
Aku buru-buru menenangkan diri sambil menyusun kata-kata untuk
menyapanya. Kutunggu hingga ia sampai di
anak tangga terakhir. Saat itulah, ya, saat itulah mataku dan sepasang mata
belonya bertemu. Ia tampak terkejut melihatku. Namun dari tatapan juga ekspresi
wajahnya, aku yakin ia masih ingat padaku.
Aku menyunggingkan senyum kaku.
“Quinn, kok bengong?” tegur salah satu temannya.
“Eh, kalian duluan aja deh,” ia menoleh pada teman-temannya, yang
disambut lirikan dan senyuman jahil mereka.
“Oke, nyusul ya!”
Gadis itu mengangguk seraya melambai. Sedetik setelahnya, ia kembali
memutar bola matanya ke arahku. Senyum ragu perlahan melengkung di wajah itu.
“Hai,” sapaku, “Kamu masih ingat aku?” tanyaku dengan suara yang
nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.
“Tentu saja. Mas yang fotokopiannya selalu buka, terutama di hari
Minggu, kan?”
“Iya,” jawabku nyengir.
“Ternyata Masnya anak fakultas sini juga, ya? Jurusan apa, Mas? Kok
aku jarang lihat ya sebelumnya?” sepasang mata belo itu kini menatapku dengan
tatapan penuh tanya. Aku baru sadar jika mata itu tak hanya hitam bersih, tapi
juga bersinar-sinar penuh ekspresi.
“Oh enggak. Sebenernya aku...” aku menyodorkan blocknote miliknya, dan ia tampak terkejut sekaligus senang.
“MasyaaAllah, blocknote-ku! Jadi ketinggalan di gerai
fotokopian Mas, ya? Ya ampun, aku pikir hilang di mana. Makasih banyak, Mas. Aku
jadi nggak enak. Tapi, sebenarnya Masnya bener anak fakultas sini juga kah?”
Mungkinkah ini saatnya aku mengenalkan diriku sebagai seorang
mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gajah Mada, pada gadis yang membuatku
penasaran selama beberapa minggu terakhir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar