Minggu, 08 Maret 2015

Mesin Fotokopi, Hujan dan Dia

Sudah menjadi komitmenku sejak awal ketika membuka bisnis kecil-kecilan gerai fotokopian sekaligus jasa printer dengan harga mahasiswa ini untuk tidak turut libur di hari Minggu seperti gerai fotokopi lainnya. Alasanku sederhana. Pasti akan ada saja satu atau dua mahasiswa yang tetap membutuhkan jasa fotokopi atau printer di hari libur, kan? Mengingat aku yang juga mahasiswa dan membutuhkan itu.

Hanya saja khusus di hari Minggu, aku sengaja membuka gerai fotokopi lebih siang dari biasanya. Jika pada hari kerja, aku biasa membuka gerai pukul enam pagi dan tutup pada pukul 11 malam, maka pada hari Minggu, pukul sembilan pagi dan tutup pukul sembilan malam. Selain itu, biasanya di hari kerja aku menitipkan gerai fotokopi pada Bang Jali, pemilik bengkel motor di samping geraiku, dan keponakannya, Arif, yang hanya tamatan SMK.

Namun menjelang sore sepulang kuliah, akulah yang menjaga gerai fotokopi hingga tutup. Tak jarang aku mengerjakan tugas kuliah di sini, bukan di rumah kontrakan. Sedangkan pada hari Minggu, akulah yang setia berada di sisi mesin fotokopi. Menunggu pelanggan.
Biasanya, mahasiswa yang banyak menjadi pelangganku justru adalah mahasiswa dari universitas swasta yang letaknya di Jalan Kaliurang km. 14.5 karena letak gerai ini berada di Jalan Kaliurang km. 8,5 dan rumah kontrakanku hanya berjarak 200 meter dari sini. Cukup jauh memang dari kampusku, yang berada di Bulak Sumur. Namun, yang penting bukanlah berapa jauh jarak, tapi setiap hari tetap berangkat ke kampus dan on time.

Hari Minggu ini, setelah berolahraga di jogging track kampus, aku langsung sarapan, mandi, dan bergegas membuka gerai fotokopian. Sejak pagi, awan mendung menggelayut rendah menaungi kota Yogyakarta. Sesaat setelah menyapu dan membereskan gerai, aku langsung berkutat di depan layar laptop untuk menyelesaikan laporan praktikum. Sudah biasa, setiap hari Minggu geraiku sepi. Apalagi pada jam-jam yang rawan digunakan untuk berjalan-jalan oleh sebagian besar anak muda. Siapa pula yang merelakan hari libur untuk sekedar pergi ke tukang fotokopi, mengeprint bahan ujian atau memfotokopi catatan teman?

Jerry, teman kontrakanku sering meledek, “Dim, kau itu aneh ya. Dimana-mana, tukang fotokopi itu meliburkan diri di hari Minggu, beristirahat. Atau mungkin jalan-jalan dengan seseorang...” ia menggantungkan kalimatnya.

Aku hanya tertawa mendengar komentar itu. Lagipula, jika ‘berhari Minggu’ dengan siapa? Tembok? Cukuplah aku menghabiskan hari libur bersama mesin fotokopi dan tugas kuliah.

Aku masih sibuk dengan laporan praktikum, sementara rintik hujan terdengar pelan menerobos telinga. Semakin deras dan semakin deras. Memaksa hawa dingin menyergap, maka refleks kumatikan kipas angin. Aku beranjak dari hadapan laptop, berpikiran untuk menyeduh teh hangat.

Tidak sampai 10 menit, aku kembali dengan secangkir teh yang masih mengepulkan asap, menebar aroma khas melewati indera penciuman. Baru saja hendak duduk, seseorang berlari kecil masuk ke geraiku. Seorang gadis yang mengenakan jilbab abu-abu dan sweater warna senada yang basah dan terlihat kebesaran di tubuh mungilnya. Ia tampak terengah-engah.

Gadis itu memiliki alis mata yang melengkung natural, menaungi sepasang bola mata hitamnya yang belo. Hidungnya mancung, amat serasi dengan kedua belah pipinya yang tembem dan kini bersemu merah. Sebuah senyum merekah begitu manis di wajah itu. Subhanallah.

“Syukur alhamdulillah masih ada gerai fotokopi yang buka hari ini. Mas, mau nge-print sekaligus fotokopi bisa kan?” tanya gadis itu. Serta merta kedua mata belonya menghujamku tanpa ampun. 

“Mas, kok bengong?” kedua alisnya bertaut.

“Eh iya, silahkan, silahkan,” jawabku gelagapan dengan senyum bodoh tersungging kaku di wajahku. 

Karena sibuk menelusuri wajah itu, aku sampai lupa meletakkan cangkir tehku di meja.
Gadis itu tersenyum, lalu duduk di depan salah satu komputer dan mulai mengutak-atik file dalam flashdisk nya. Diam-diam, mataku masih mengekori gerak-geriknya.

Dering telepon tiba-tiba menyentakku. Aku buru-buru mengalihkan pandang darinya yang kini berbicara di telepon. Astaghfirullah, zina mata.

“Halo, assalamualaikum. Iya, Di? Iya, ini aku baru mau nge-print. Bahannya cuman yang kamu copy ke flashdisk ku kan? Oke, oke. Iya, beres. Hmm... iya, oke. Iya nih, setelah lama mencari akhirnya ketemu juga yang buka. Iya, tukang fotokopi pada asyik berhari Minggu deh kayaknya. Apa? Memangnya kenapa kalau aku sibuk menunggu mereka buka? Aku single terhormat kok walaupun nggak berhari Minggu!” celotehnya riang.

Aku tersenyum mendengar percakapannya itu. Single terhormat katanya? Persis pembelaan yang sering kulontarkan pada Jerry setiap meledekku.

“Iya, iya. Beres. Kamu besok hutang beliin aku cappucino ya. Aku basah-basahan nih, hehehe. Ya udah, bye! Waalaikumussalaam,” gadis itu mengalihkan ponsel di telinganya ke atas meja. Sesaat kemudian terdengar suara mesin printer mulai bekerja.

Gadis itu berdiri, lalu berbalik menghadap ke arahku, “Mas, nanti sekalian fotokopi, ya,” ucapnya padaku.

“Bisa, bisa,” jawabku.
Kami lalu sama-sama diam, menunggu mesin printer selesai mencetak.

“Dari tadi nyari gerai fotokopi yang buka, ya?” tanyaku pelan. Suaraku nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.

“Iya, Mas. Nggak ketemu-ketemu. Sepanjang Palagan tutup semua. Untung deh di sini buka. Perlu dicontoh nih, tukang fotokopi yang nggak pilih-pilih hari,” jawabnya tertawa kecil.
Aku mengulum senyum. “Ini mau difotokopi semua?”

“Iya, masing-masing 2 rangkap ya, Mas,” jawabnya.
Aku mengangguk dan langsung mengerjakannya. “Duduk dulu aja,”

Ia menurut, lalu kembali duduk di depan komputer. Memperhatikanku.
Ingin rasanya aku bertanya, apakah dia satu kampus denganku atau dia mahasiswa universitas yang letaknya di Kaliurang km. 14 itu? Namun aku tak cukup berani, karena takut menyinggungnya. Apa yang akan dipikirkannya jika aku, yang hanya seorang tukang fotokopi –di matanya- tiba-tiba bertanya hal yang pribadi seperti itu? Sementara sibuk berdebat dalam hati, pikiranku tetap tertuju pada bahan yang ia print itu. Tertulis besar-besar judul di halaman pertama power point itu PSIKOLOGI UMUM. Apa dia mahasiswa psikologi?

“Sudah siap,” kataku kemudian, “Jadi semuanya delapan ribu tiga ratus, ya,”

Gadis berjilbab itu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan, “Kembaliannya disimpan aja, Mas,” ucapnya tersenyum, mengambil alih fotokopiannya.

“Lho, tapi...”

Matur nuwun, Mas. Permisi,”         

Tak sempat aku menolak, ia sudah berlari menerobos derasnya hujan. Meninggalkan aku dan rasa penasaran dalam hati yang tidak terjawab.

Apa mungkin aku akan bertemu lagi dengan gadis itu?
**

Hari-hari berlalu dan aku memang tidak pernah lagi bertemu dengan gadis berjilbab itu. Namun tiada hari tanpa menaruh harapan agar ia kembali membutuhkan jasa fotokopiku atau setidaknya lewat di depan geraiku.

Aku baru saja sampai di gerai fotokopian menjelang maghrib. Arif menyambutku dengan bercerita, 
“Mas, tadi ada mahasiswa yang fotokopi tapi bayarnya lebih terus ra gelem dibalekke kembaliane. Subhanallah tenan, Mas. Wes ayu, ramah lagi,” dengan aksen Jawa yang kental.

Aku terkejut mendengar cerita itu. Jangan-jangan gadis itu... “Dia berjilbab? Bahan fotokopiane berhubungan karo psikologi ra, Rif?”

“Iya Mas, bener. Lha kok ngerti,Mas? Kancane Mas Dimas to?”

Aku menggeleng, “Bukan, Rif. Dia... memang pernah ke sini juga dan bayar lebih tapi nggak mau ambil kembalianne,” aku memutuskan untuk tidak menceritakan rasa penasaranku itu pada Arif.

Hal ini nyatanya terjadi berulang kali. Gadis itu memang kembali lagi pada hari-hari berikutnya untuk menggunakan jasa fotokopiku. Dan lagi, ia selalu menolak mengambil uang kembalian. Namun sayang, ia selalu datang ketika aku tidak ada. Aku mengetahui hal ini karena Arif dan Bang Jali selalu menceritakan perihal kedatangan “gadis ayu yang selalu membayar lebih tanpa meminta kembalianitu.
**

Hari ini adalah hari paling melelahkan karena 2 kali berturut-turut praktikum. Belum selesai lelah karena praktikum itu, laporan sudah menunggu. Aku baru saja sampai di gerai fotokopiku ketika mataku menemukan sebuah blocknote berwarna ungu di sudut meja.

“Rif, iki nggone sopo?”

“Oh, itu... Iyo Mas. Itu nggone Mbak-Mbak ayu yang selalu ndak mau dikasih kembalian. Kayak e sih dia buru-buru banget tadi, sampai ketinggalan gitu,” jawab Arif.

Jantungku berdegup kencang seketika. Jadi blocknote ini miliki gadis itu? Perlahan aku meraih blocknote itu dan membukanya. Di halaman pertama, tertulis jelas sebuah nama “Quinnita Dwi Kinanthi, Psikologi UII 2014”.

Detik itu, rasanya bongkahan batu besar yang selama ini menghimpitku terangkat seketika. Akhirnya setelah lama menunggu, aku mendapatkan nama gadis itu.

Ono opo, Mas? Kok senyam-senyum dewe, to?” tegur Arif yang sudah bersiap untuk pulang.

Rapopo, Rif. Suwun, yo,” aku menepuk bahunya dengan melebarkan senyum.

Maka tanpa menunggu, hari berikutnya, sekitar pukul sembilan pagi, aku meluncurkan motorku ke Jalan Kaliurang km.14 untuk mengembalikan blocknote milik gadis itu. Quinnita. Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mempermudah jalanku untuk bertemu dengannya. Tapi, apa dia masih ingat padaku? Kami sudah lama tidak bertemu. Apa mungkin ia masih ingat dengan si tukang fotokopi ini?

Motorku memasuki wilayah kampus UII. Namun aku harus menelan kekecewaan manakala aku melihat parkiran motor di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu sepi, hanya ada beberapa motor saja. Bahkan parkiran mobilnya pun sepi. Tapi kulihat fakultas lain tadi tetap masuk. Aku mematikan mesin motor, dan kuputuskan untuk bertanya pada penjaga parkiran.

“Permisi, Pak, numpang tanya. Hari ini kok Fakultas Psikologi ini sepi betul?”

“Woo, lha nggih, Mas. Ini kan hari Sabtu, ya memang libur. Memang biasane ada beberapa kelas yang masuk, untuk kuliah pengganti. Tapi selebihnya libur Mas,” jawab pria paruh baya itu.

Aku menepuk dahi. Ya ampun, kenapa aku bisa lupa kalau ini hari Sabtu? “Oh gitu. Nggih matur nuwun sanget, Pak. Permisi,”

Nggih, Mas, nggih. Sami-sami. Monggo,”

Aku menyalakan motor lalu meninggalkan kampus itu. Tuhan masih ingin menguji kesabaranku kali ini. Sudahlah, toh masih ada banyak hari setelah ini.

Hari Senin pagi, setelah kelas pertamaku bubar, tanpa banyak basa basi dengan teman-teman yang lain, aku langsung mengambil motorku di parkiran. Bahkan panggilan Jerry dan Ilham, tidak kuhiraukan. Tekadku sudah bulat untuk bertemu dengan gadis itu hari ini.

Perjalanan dari kampusku ke kaliurang km.14 kutempuh dalam waktu 20 menit. Setelah memarkirkan motor dengan aman, aku bergegas masuk ke Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu. Menyusuri lorong dan koridor kelasnya dengan mata liar mencari sosok gadis itu di antara mahasiswa lainnya.

Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Apa jangan-jangan dia sedang ada kelas? Atau dia belum datang? Atau justru sudah pulang? Atau buruknya dia tidak ke kampus? Oh pikiran buruk, menghilanglah! Aku berusaha mencarinya setenang mungkin meski jantungku berdebar keras.

Aku hampir saja berbelok ke arah tangga di atas tempat fotokopian mahasiswa, namun langkahku terhenti karena mataku menangkap seorang gadis berjilbab hitam, mengenakan baju berwarna abu-abu, juga rok lebar berwarna abu-abu tua turun dari tangga bersama beberapa mahasiswa lainnya. Itu Quinnita.

Aku buru-buru menenangkan diri sambil menyusun kata-kata untuk menyapanya. Kutunggu  hingga ia sampai di anak tangga terakhir. Saat itulah, ya, saat itulah mataku dan sepasang mata belonya bertemu. Ia tampak terkejut melihatku. Namun dari tatapan juga ekspresi wajahnya, aku yakin ia masih ingat padaku.

Aku menyunggingkan senyum kaku.

“Quinn, kok bengong?” tegur salah satu temannya.

“Eh, kalian duluan aja deh,” ia menoleh pada teman-temannya, yang disambut lirikan dan senyuman jahil mereka.

“Oke, nyusul ya!”

Gadis itu mengangguk seraya melambai. Sedetik setelahnya, ia kembali memutar bola matanya ke arahku. Senyum ragu perlahan melengkung di wajah itu.

“Hai,” sapaku, “Kamu masih ingat aku?” tanyaku dengan suara yang nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.

“Tentu saja. Mas yang fotokopiannya selalu buka, terutama di hari Minggu, kan?”

“Iya,” jawabku nyengir.

“Ternyata Masnya anak fakultas sini juga, ya? Jurusan apa, Mas? Kok aku jarang lihat ya sebelumnya?” sepasang mata belo itu kini menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku baru sadar jika mata itu tak hanya hitam bersih, tapi juga bersinar-sinar penuh ekspresi.

“Oh enggak. Sebenernya aku...” aku menyodorkan blocknote miliknya, dan ia tampak terkejut sekaligus senang.

MasyaaAllah, blocknote-ku! Jadi ketinggalan di gerai fotokopian Mas, ya? Ya ampun, aku pikir hilang di mana. Makasih banyak, Mas. Aku jadi nggak enak. Tapi, sebenarnya Masnya bener anak fakultas sini juga kah?”

Mungkinkah ini saatnya aku mengenalkan diriku sebagai seorang mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gajah Mada, pada gadis yang membuatku penasaran selama beberapa minggu terakhir?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar