Jumat, 06 Mei 2016

Entah apa yang saat ini berdesakan di dalam dada dan raga. Semua yang dulu berjalan senada kini saling bertabrakan.
Bingung. Aku benar-benar bingung saat ini, kau tahu?
Kau terbingkai indah di dalam otak dan bersinar di dalam hati. Tapi kenapa sekarang hati dan pikiranku justru menolak? Semua perasaan, semua keinginan untuk melihatmu, memikirkanmu justru menghilang begitu saja. Kini, melihatmu di ponselku tak lagi menjadi pelipur lara dan gundah. Rasanya hambar.
Entahlah. Aku bingung.
Aku tidak tahu apa ini namanya.
Entah juga kepada siapa aku harus menceritakan dan menumpahkan semuanya.
Kita sudah lama tidak bertemu, kan? Mungkinkah itu penyebabnya? Mungkinkah karena sudah lama tidak melihatmu, keyakinan dan kesetiaanku padamu berkurang?
Jika kamu menyangka ini karena adanya orang lain, aku dengan lantang menjawab. Tidak pernah. Tidak pernah ada laki-laki lain yang menggantikanmu.
Aku tidak sedang menyukai orang lain, namun aku juga tidak bisa menyukaimu.
Entalah. Aku bingung.
Rasanya ingin melepaskan rasa sesak dalam dada yang beberapa hari ini mengangguku. Aku rindu perasaanku padamu yang dulu. Aku ingin kembali setia menunggumu. Berharap kamu akan datang. Berharap kita bisa berhadapan sekali lagi. Meskipun tidak mengatakan apa apa, sudahlah. Tidak penting bagiku.
Mungkin ini lagi lagi pikiran dan perasaan egoisku. Mungkin aku hanya ingin memastikan apakah rasa itu masih ada padaku?
Sewaktu kamu mengunggah salah satu fotomu bersama dua temanmu, tepat beberapa jam di hari yang sama ketika aku menggunggah foto dengan tulisan yang kutujukan untukmu, lagi lagi aku merasa di atas angin. Sudah kedua kalinya kamu menggunggah foto tepat setelahku. Ini kembali membuatku bingung, kau tahu?
AKu tak pernah rela melepaskanmu, tapi sejujurnya hatiku pun tak lagi merasakan apapun padamu.
Aku merasa hampa, kosong. Seperti mayat hidup karna sudah mati rasa.
Kau kaget ya, membaca suratku kali ini?
Atau kau malah senang karena akhirnya terbebeas dari perasaanku padamu? Kau jadi tak perlu repot repot memberitahuku agar berhenti menyukaimu, kan? Kau tidak perlu merasa tidak enak lagi padaku apalagi merasa kasihan padaku karena tidak punya rasa yang sama.
Kau boleh bernapas lega, kok.
Kau tahu? menyukaimu dan tidak lagi menyukaimu saat ini... sama sama menyakitkan bagiku. Aku bingung. Aku ingin menghapus semua wajahmu, senyummu, baik di kepala, hati maupun ponsel. Namun setiap kali membuka folder di masing masing tempat itu, aku selalu mengurungkan  niatku. Aku berpikir lagi, didukung oleh hati. Bagaimana jika nanti aku rindu? Bagaimana jika rasa ini hanya rasa lelah saja? Bagaimana kalau nanti semua perasaan itu kembali? Bagaimana jika kamu berubah pikiran dan berlari mengejarku?
Ah, pede sekali aku, ya? Kamu pasti tertawa membacanya karena aku yang terlampau percaya diri.
Ini yang terus membuatku bingung.
Apakah aku harus diam atau berlari.
Apakah aku harus melepaskan atau bertahan.
Apakah aku harus tetap menyukaimu atau tidak.
Apakah aku harus tetap memaksa diriku untukmu?
Aku katakan padamu, tidak ada orang lain. Bukan itu masalahnya. Aku juga tidak tahu kenapa.
Bukankah jodoh selalu mudah jalannya? Jika terlihat dan terasa sulit, maka dia bukan jodohmu? Begitu, kan? Lantas apa namanya kita ini? Apakah aku salah menilai jalan ini terasa sulit, padahal sebenarnya kita tinggal bersabar dan menunggu waktu yang tepat saja, sampai tirai itu terbuka dan membiarkan kita berhadapan?
Dimana kau sekarang? Jauhkah dari tempatku berdiri saat ini?
Dimana kau skearang? Aku bahkan tak lagi bisa melihatmu.
Aku bingung sekali.

Jumat, 24 April 2015

Sederhananya Hidup Kita


Assalamualaikum, sahabat blog!
Salam paling hangat kusampaikan dari kota pelajar, Yogyakarta. Pagi ini aku menyempatkan duduk di hadapan laptop, untuk berbagi sedikit inspirasi yang aku dapatkan ketika aku mengikuti salah satu mata kuliahku di semester ini. Sesuai dengan judul pagi ini, mengenai betapa sederhana sebenarnya hidup kita ini. Oh ya, untuk judul saja aku sudah mengutip kata-kata dosen luar biasaku di mata kuliah tersebut.
Itu benar, teman-teman. Hidup kita sebenarnya sangat sederhana. Kuncinya terletak pada dua kata ini: sabar dan syukur.
Seringnya kita mengeluhkan hal-hal yang tidak seharusnya dikeluhkan. Bahkan untuk sesuatu yang terdengar sepele atau sudah menjadi rutinitas kita setiap harinya. Seringnya kita mengeluhkan betapa banyaknya tugas kuliah, ditambah kuis, UTS dan diakhiri dengan UAS. Kesibukan di luar itu juga sudah menunggu, seperti kegiatan rapat pleno acara besar atau rapat rutin organisasi. Banyak dari kita yang mengeluh lelah atau tidak punya waktu bermain karena kesibukan itu.
Hal yang lebih kecil lagi, kita sering mengeluhkan jadwal kuliah yang terlalu pagi. Padahal sudah bisa membuat jadwal sendiri, tapi tetap saja ujung-ujungnya mendapat kelas pagi setiap hari. Kita mengeluh dengan masalah tidak bisa bangun pagi.
Kadang, ada juga keluhan yang membuat tersenyum sendiri. Yaitu ketika beberapa dari kita mengeluh betapa lamanya kelas 3 sks, hampir dua setengah jam mendengarkan dosen yang sama, duduk di tempat yang sama dan dengan posisi yang sama. Aku akui, ini tidak mudah karena bisa membuat bosan, mengantuk dan tidak konsentrasi lagi karena mahasiswa lain mulai ribut.
Dari 3 contoh sederhana di atas, yang sering terjadi pada orang lain, atau bahkan pernah kita alami sendiri, apakah teman-teman pernah berpikir, bahwa sebenarnya keluhan yang terucap itu tidak meringankan kelelahan, kebosanan dan kebiasan sulit bangun pagi itu?
Kita selalu punya pilihan dalam hidup ini. Pada contoh pertama, kita mengeluhkan sesuatu yang menjadi risiko kita sejak awal. Rutinitas kita setiap hari. Apakah dengan mengeluh kelelahan itu akan terobati secara otomatis? Tentu tidak, kan? Sebenarnya kita punya pilihan untuk mengatasi masalah itu. Pertama, kita tetap menjalankan rutinitas itu dengan ikhlas dan sabar, mencoba untuk mencintai rutinitas itu. Kedua, kita jalankan namun hanya setengah hati, sehingga kita tidak mendapatkan apa-apa. Atau yang ketiga, kita tinggalkan semuanya dan kita tidak akan pernah menjadi orang yang sukses karena kita enggan bekerja keras. Pilihan yang cukup jelas, kan?
Pernahkah teman-teman berpikir bahwa betapa indahnya hidup kita yang dipenuhi oleh kegiatan menyenangkan dan produktif itu. Banyak di luar sana, anak muda seperti kita yang terkekang oleh situasi dan keadaan, membuat mereka tidak bisa kuliah seperti kita. Tidak bisa mencecap pendidikan yang layak karena masalah ekonomi yang tidak memungkinkan. Atau bisa jadi, mereka yang terjerat oleh ketidakmampuan secara fisik untuk melakukan banyak hal. Sedangkan kita, kita yang sehat dan diberi kemampuan oleh Tuhan untuk menjadi generasi yang produktif, justru mengeluh dan tidak bersyukur. Bagaimana jika Tuhan mencabut kenikmatan bernapas dan tubuh yang sehat itu dari diri kita? Masih bisakah kita bahkan sekedar untuk mengucapkan keluhan?
Sama halnya dengan keluhan kita pada kebiasaan sulit bangun pagi dan betapa bosannya masuk di kelas yang 3 sks itu. Kita seharusnya banyak bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bisa mencecap indahnya pendidikan. Banyak di luar sana yang jangankan untuk sekolah, sekedar untuk makan saja, banyak yang masih kesulitan. Bahkan untuk bernapas saja mereka berpikir. Haruskah aku membayar setiap oksigen yang kuhirup? Saking takutnya ia pada dunia yang kejam. Tapi nyatanya Tuhan begitu baik, memberikan nikmat yang luar biasa untuk kita. Tidakkah kita malu pada diri sendiri dengan keluhan yang kita ucapkan? Padahal ada hal yang jauh lebih bermanfaat dari pada mengeluh. Yaitu mensyukuri segala hal yang masih kita miliki. Sederhana, kan?
Bicara soal mengeluh, pernahkah teman-teman berpikir, bahwa ketika kita mengeluhkan hal-hal sepele, apa yang akan terjadi dengan lingkungan kita? Keluarga, teman kuliah atau rekan kerja? Pernakah terpikir, mereka akan mendengus dalam hati dan berkata, kau mengeluhkan sesuatu yang sejak awal menjadi pilihanmu. Bukankah itu terdengar lucu? Atau tidak bisakah dia sedikit lebih santai dan menjalankan saja apa yang sudah tergaris?
Percaya atau tidak, kita bisa memberikan energi positif maupun negatif pada orang-orang di sekitar kita melalui tindakan maupun ucapan kita. Sama halnya dengan mengeluh, kita menebar energi negatif pada orang-orang di sekitar kita. Kita mengeluh dan membuat diri kita semakin tidak berdaya karena keluhan itu, kita juga membuat mereka merasakan energi yang negatif dari kita. Bukankah kita sudah membuat 2 kali kerugian?
Sedikit menyinggung hal lain, lagi-lagi ini adalah insipirasi dari dosen di mata kuliah yang sama, aku pernah mendengarnya dari seseorang yang juga banyak terinspirasi dari dosen kami, beliau berkata: “ketika kita ingin ‘merekrut’ seseorang yang spesial, maka kita harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, apakah orang tersebut bisa membuat kita bahagia. Kedua, apakah bersama dia, akan membuat kita menjadi lebih baik,”
Dari pernyataan tersebut, kita bisa merenung. Mungkinkah ada yang akan tertarik dan ‘merekrut’ kita sebagai seseorang dalam hidup mereka jika hal yang bisa kita lakukan adalah mengeluhkan hidup? Apakah kita akan membuat mereka bahagia dengan keluhan manja kita? Apakah kita bisa membuat mereka berubah menjadi lebih baik? Jangankan merubah mereka, kita saja susah untuk berubah. Apa iya, kita bisa merubah orang lain?
Maka dari sekarang, sudah saatnya bagi kita untuk bersabar dan bersyukur dengan segala apa yang kita miliki. Kita harus percaya, bahwa segala hal baik yang kita lakukan akan dibalas pula sepantas-pantasnya, sebaik-baiknya oleh Tuhan.
Mungkin teman-teman merasa, aku sudah melakukan banyak hal baik. Namun kenapa aku tidak mendapatkan balasan yang baik juga? Atau seperti ini aku sudah banyak sabar dan membantu banyak orang, tapi kenapa beban hidupku justru semakin berat? Kapan mereka akan balik membantuku?
Lagi-lagi bersabar adalah kunci dari masalah itu. Tuhan bisa jadi telah menyiapkan hal baik dan pertolongan untuk kita ketika kita benar-benar membutuhkan bantuan itu. Mungkin hal baik tidak terjadi secara langsung dan secepat kilat setelah kita menolong orang. Bisa jadi Tuhan telah jauh menyiapkan pertolongan ketika kita benar-benar dalam situasi yang sulit. Saat itulah pertolongan dan kemudahan datang. Bukankah Tuhan menjawab doa kita dalam 4 cara? Pertama, langsung dikabulkan saat itu juga. Kedua, ditunda waktunya. Ketiga, diganti dengan yang lebih baik. Keempat, tidak dikabulkan sama sekali. Bukankah kita percaya hal itu?
Ketika memang tidak dikabulkan, mungkin memang hal yang kita inginkan itu tidak baik untuk kita. Lagi-lagi, kita harus bersabar. Yakin, bahwa semua hal baik pasti akan dibalas sepantas-pantasnya.
Sama dengan perjuangan yang kita lakukan selama menjadi mahasiswa. Memang perjalanan yang kita lakukan tidaklah mudah. Banyak tantangan, ujian dan cobaan datang bertubi-tubi. Namun dengan kesabaran dan rasa syukur yang tiada henti, akan membawa kita menjadi pribadi yang jauh lebih baik.
Mulailah untuk tidak lagi mengeluhkan hal sekecil apapun itu.
Di akhir tulisan ini, sekali lagi, hidup sangatlah sederhana. Hidup adalah untuk kita jalani seindah mungkin, sebaik mungkin, agar membuat kita bahagia dan membuat hidup kita bermakna lagi berarti. Tidak hanya untuk kita tapi juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tak mengapa lelah, asal lillah. Semua akan terasa ringan dan indah pada waktunya.
Semoga tulisan kali ini membawa inspirasi juga untuk teman-teman.
Salam hangat dari Yogyakarta.

Senin, 06 April 2015

Sekilas Pandangan Tentang Nikah Muda


Halo, bloggers di manapun berada. Alhamdulillah di sela kesibukan tugas yang berseliweran di depan mata, aku masih sanggup menuangkan unek-unek dalam bentuk tulisan ini.
Well, kali ini aku gemas ingin membahas mengenai nikah muda yang sepertinya sih sekarang, nikah muda marak lagi. Kenapa aku bilang lagi? Karena dulu, pada generasi baby boomers dulu, nikah muda bukanlah hal yang tabu atau aneh. Banyak dari mereka yang menikah pada usia yang belia.  Bahkan untuk perempuan, menikah pada usia remaja, sekitar 15 atau 16 tahun adalah suatu tradisi pada saat itu. Beberapa dari kita mungkin pernah terkejut mendengar cerita nenek kakek kita dulu, yang menikah setelah lulus SMA atau bahkan setelah lulus SMP. Kita mungkin berdecak kasihan pada mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Banyak yang dipaksa menikah karena orangtua sudah tak mampu lagi membiayai sekolah, dan menganggap pernikahan adalah jalan terbaiknya.
Orangtua zaman dulu biasanya berkata, “Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, lha wong ujung-ujungnya balik neng dapur,”
Nah ternyata, tren nikah muda sekarang kembali muncul ke permukaan. Jangan heran kalau, banyak teman-teman kita yang bahkan baru masuk kuliah, sudah memutuskan untuk menikah. Padahal usia juga belum menginjak kepala dua. Toh mereka santai-santai saja, dan banyak yang bukan karena dipaksa atau dijodohkan.
Memang, nggak ada larangan di agama kita dalam hal menikah muda. Yang jelas-jelas dilarang itu kan pacaran. Justru jauh lebih baik menyegerakan menikah kalau memang sudah siap dan nggak bisa berpuasa lagi. Daripada mengarah ke arah yang nggak baik, lebih baik langsung ke pelaminan.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa benar, ketika memutuskan untuk melepas masa lajang di usia yang belia sesederhana itu tanggung jawabnya? Apa iya, kita sudah siap secara mental untuk hidup berdua dengan seseorang yang bisa dibilang “newbie” dalam hidup kita?
Banyak yang bilang, ketika kita menikah, rejeki menjadi lancar dan kehidupan jauh lebih indah karena setiap harinya melihat sosok yang kita cintai berada di sisi kita. Tapi apa iya, pernikahan itu mulu membahas tentang kebahagiaan? Tentu enggak, kan, bloggers?
Jika dilihat dari usia, ketika kita masih 20 tahun, rasanya tidak sama kesiapan mental maupun kognisinya dengan mereka yang berusia 25 atau 27 tahun, kan? Dari segi pengalaman pun kita yang masih 20 tahun atau bahkan 19 tahun jelas belum banyak. Jika membicarakan soal kedewasaan, memang banyak yang lebih muda bisa jauh lebih dewasa dibanding mereka yang berusia awal 30-an. Tapi, sekali lagi, kedewasaan nggak mulu tentang kognisi, kan? Pengalaman juga berperan banyak dalam membentuk kedewasaan.
Ketika kita yang 19 atau 20 tahun ini masih duduk di bangku kuliah, jelas memiliki perbedaan pengalaman dengan mereka yang sudah mapan dan berpenghasilan. Dalam menyelesaikan tugas kuliah saja kita masih grotal gratul, menulis skripsi saja masih ditunda-tunda dan menunggu ada yang menyindir dulu baru mau on fire lagi. Bagaimana nanti menyelesaikan konflik kecil dalam rumah tangga? (buat para perempuan) Membedakan laos dan kunyit saja belum bisa, mau langsung menikah saja. Bagaimana nanti menyiapkan sarapan untuk suami?
Belum lagi jika bicara masalah anak. Pasangan mana yang tidak mengidamkan seorang anak? Masalahnya, dengan usia yang masih sangat belia, khususnya perempuan, apakah sudah matang secara mental dan kognisi untuk mengandung? Hamil bukanlah sebuah permainan peran yang sewaktu-waktu boleh kita minta ganti jika tidak kuat atau tidak cocok dengan itu. Selama 9 bulan 10 hari, seorang bakal bayi tumbuh dan berlindung di dalam rahim, bukanlah hal yang sepele. Jika masih minim pengetahuan tentang kehamilan, apa nggak kasihan dengan calon bayinya?
Banyak dari teman-teman kita yang menikah muda kemudian hamil dan tidak kuat dengan kondisi ibu hamil yang ngapa-ngapain serba susah. Sekedar tidur saja susah. Bernapas susah, mau makan sedikit muntah, dan sebagainya. Belum lagi setelah melahirkan, mereka akan mengalami baby blues syndrom atau merasa lelah, sedih dan tidak sanggup merawat bayi. Nah, kalau sudah begini, bagaimana?
Dari beberapa paragrag yang sudah aku jabarkan tadi, memang tidak sepenuhnya benar dan terjadi pada semua pasangan nikah muda. Tapi, ada beberapa dari mereka yang mengalaminya. Nggak jarang lho, pernikahan di usia muda justru berujung pada perceraian karena masalah yang datang bertubi-tubi dan tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan emosi yang nggak meledak-ledak.
 Nah, bukan berarti juga menunda menikah itu justru beralih pada pacaran. Ini jelas BIG NO. Ada baiknya sebelum siap dan pasti, kita jangan melibatkan perihal perasaan dan hati dulu. Masih banyak hal positif yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu kesendirian kita sebelum melepas masa lajang. Bagi kita yang perempuan, penting bagi kita untuk memiliki pengetahuan mengenai perkembangan anak, dan tentunya pengetahuan perihal rumah khususnya bagian dapur. Kalau kita saja belum bisa merawat diri kita dengan baik, bagaimana mau merawat suami kita nanti? Terlebih merawat anak kita sendiri. Yang ada kita akan kelelahan dan bahkan jangan-jangan menyeret orangtua lagi dalam rumah tangga.
Tak perlu buru-buru dalam memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping kita. Ketika kita sama-sama berjuang untuk saling menemukan dengan cara memperbaiki diri dan memantaskan hati, maka pastilah Allah akan menunjukkan jalan baikNya untuk mempertemukan kita dengan sosok yang akan menggenapkan kita kelak.
Jika sudah siap betul, nggak ada salahnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah adalah peristiwa luar biasa yang didambakan setiap manusia. Berbahagialah yang akan segera menjajaki tahap besar itu.
Untuk kita yang masih berusaha saling menemukan, mari bersabar dan terus berdoa. Usaha saja tidak cukup. Doa juga penting dalam hal ini. Mudah-mudahan pada usia berapapun kita dipertemukan dengan sosok penggenap nantinya, ridho Allah selalu bersama kita.
Aamiin ^^

Senin, 09 Maret 2015

#1 Problematika Remaja Tanggung



Hari ini entah kenapa, ingin sekali membahas satu fenomena yang menjadi tren anak remaja berseragam putih biru dan putih abu-abu, bahkan parahnya yang masih putih merah.

“Fenomena pacaran”

Mengingat status saya yang sudah resmi menjadi mahasiswa sejak 6 bulan terakhir, tentu saja saya sudah menganggap diri sendiri sebagai non remaja lagi. Jadi, sah-sah saja rasanya jika saya kini memandang dunia remaja dan fenomena pacaran melalui sudut pandang dewasa awal.

Pertanyaan besarnya kenapa saya tertarik untuk membahas mengenai pacaran sementara saya sebagai seorang muslimah sudah cukup paham jika pacaran itu tidak ada Islam? Jawabannya sederhana saja, sih. Karena meskipun sudah jelas fenomena ini dilarang agama dan bahkan sudah terbit buku yang terang-terangan mengancam para jiwa muda yang dimabuk asmara, masih banyak saja tuh remaja kita yang melenggang dengan bangganya bersama sang pacar. Duh, Dek...

Sering saya temui remaja tanggung di mall, berduaan dengan lawan jenis. Entah hanya jalan-jalan melepas penat setelah “lelah seharian di sekolah” (kalau capek sekolah, terus mau ngapain, Dek?), menonton bioskop, makan di cafe atau numpang selfie bareng pacar biar eksis terus upload di semua sosial media yang dimiliki. (ups, hihihi). Kita yang mahasiswa saja mau nonton bioskop apalagi makan di cafe harus mikir seratus kali, lho. Ini bukan hanya membayar untuk diri sendiri, tapi sekalian traktir pacar. (Duh, itu dompet nggak takut bolong? :D)

Saya senyam-senyum sendiri kalau melihat mereka berangkulan, bergandengan atau tatap-tatapan mesra sambil sayang-sayangan. Bukan iri atau apa, tapi jadi mikir sendiri. Udah pada pintar di sekolah atau cari uang ya, sampai berani beradegan yang seharusnya dilakukan setelah mendapatkan ijabsyah (?)

Mungkin dalam pembahasan kali ini saya tidak ingin banyak menyinggung soal hukumnya dalam agama kita, karena saya merasa ada yang lebih jago dalam hal tersebut.

Oke, bicara soal fenomena pacaran, sebenarnya hal yang membuat saya bingung adalah alasan yang diberikan oleh para remaja, mengapa mereka berpacaran. Biasanya paling banyak sih menganggap pacaran itu menjadi motivasi sekolah. Hmm... kedengarannya menarik. Tapi kita coba lihat cuplikan yang satu ini:

*Awal masuk kelas 3 SMA*
Cowok: Kamu mau nggak jadi pacar aku?
Cewek: (malu-malu) Iya, aku mau
Lantas keduanya resmi jadian dan membuat dunia seolah hanya milik berdua. Kemana-mana sama-sama. Dimulailah panggilan sayang dan lain sebagainya. Tapi...

*Menjelang Ujian Nasional*
Cewek: Aku mau kita putus
Cowok: Lho, kenapa, Sayang? Aku salah apa?
Cewek: Aku nggak mau nilai ujianku jelek gara-gara kita pacaran. Aku mau fokus ujian dulu.
Jedeeeer!!!! Akhirnya hubungan tersebut kandas di tengah jalan.

Ini adalah salah satu problematika yang sering kali terjadi di kalangan pelajar SMA. Yang tadinya setuju untuk menjalani hubungan tiba-tiba mengakhiri secara sepihak karena nilai turun atau ingin fokus studi dulu. Duh Dek, dari kemarin kemana aja? Kalau mau berenang, ya jangan takut basah dong. Sudah tahu bakalan menghadapi ujian, tapi kok masih nekad aja pacaran.

Apakah ini yang dinamakan motivasi belajar? Tidak jarang kan, kita temui pasangan yang bertengkar malam harinya, kemudian tidak bisa konsentrasi belajar padahal esok harinya ada ulangan atau kuis. Alhasil nilai jelek dan orangtua bisa apa selain mempertanyakan tanggung jawab atas nilai tersebut?

Tidak ada yang bisa menjamin 100 persen bahwa pacaran itu menjadi vitamin terbaik dalam menjalankan studi baik sekolah maupun kuliah. Kalau memang butuh asupan tambahan dalam penyemangat, bisa saja melalui orangtua. Mereka tidak akan menjerumuskan kita, justru dari merekalah kita bisa berhasil. Doa orangtualah yang membawa kita menuju kesuksesan. Jenuh karena aktivitas yang monoton di sekolah atau kampus? kita masih punya sahabat yang baik, yang setia mendengarkan keluh kesah kita dan membuat pikiran kita menjadi segar lagi karena bercanda dan tertawa bersama.

See? Kita punya banyak pilihan.

Mengapa harus berdua jika sendiri saja jauh lebih keren? Jangan iri melihat mereka yang masih berseragam putih abu-abu atau masih kuliah dan sudah memiliki kekasih namun belum bisa menghidupi diri apalagi membawa hubungan itu ke jenjang yang lebih serius. Tidak ada yang bisa menjamin hubungan pacaran itu bisa bertahan ke jenjang pernikahan, kok.

Kita boleh iri pada mereka yang masih muda, tapi sudah sukses dan siap membawa seseorang yang mereka cintai ke jenjang pernikahan tanpa jalan maksiat alias pacaran. Dengan itu, kita akan semangat mencapai impian kita, mendulang kesuksesan dalam karir dan juga percintaan. Kemudian membangun rumah tangga yang diridhoi orangtua juga Allah swt. Bahagia mana, coba? :D

So, masih kesindir sama truk yang gandengan? Ah, buat apa gandengan, toh mobil balap F1 melesat sendiri lebih keren, kok!:D

Minggu, 08 Maret 2015

Mesin Fotokopi, Hujan dan Dia

Sudah menjadi komitmenku sejak awal ketika membuka bisnis kecil-kecilan gerai fotokopian sekaligus jasa printer dengan harga mahasiswa ini untuk tidak turut libur di hari Minggu seperti gerai fotokopi lainnya. Alasanku sederhana. Pasti akan ada saja satu atau dua mahasiswa yang tetap membutuhkan jasa fotokopi atau printer di hari libur, kan? Mengingat aku yang juga mahasiswa dan membutuhkan itu.

Hanya saja khusus di hari Minggu, aku sengaja membuka gerai fotokopi lebih siang dari biasanya. Jika pada hari kerja, aku biasa membuka gerai pukul enam pagi dan tutup pada pukul 11 malam, maka pada hari Minggu, pukul sembilan pagi dan tutup pukul sembilan malam. Selain itu, biasanya di hari kerja aku menitipkan gerai fotokopi pada Bang Jali, pemilik bengkel motor di samping geraiku, dan keponakannya, Arif, yang hanya tamatan SMK.

Namun menjelang sore sepulang kuliah, akulah yang menjaga gerai fotokopi hingga tutup. Tak jarang aku mengerjakan tugas kuliah di sini, bukan di rumah kontrakan. Sedangkan pada hari Minggu, akulah yang setia berada di sisi mesin fotokopi. Menunggu pelanggan.
Biasanya, mahasiswa yang banyak menjadi pelangganku justru adalah mahasiswa dari universitas swasta yang letaknya di Jalan Kaliurang km. 14.5 karena letak gerai ini berada di Jalan Kaliurang km. 8,5 dan rumah kontrakanku hanya berjarak 200 meter dari sini. Cukup jauh memang dari kampusku, yang berada di Bulak Sumur. Namun, yang penting bukanlah berapa jauh jarak, tapi setiap hari tetap berangkat ke kampus dan on time.

Hari Minggu ini, setelah berolahraga di jogging track kampus, aku langsung sarapan, mandi, dan bergegas membuka gerai fotokopian. Sejak pagi, awan mendung menggelayut rendah menaungi kota Yogyakarta. Sesaat setelah menyapu dan membereskan gerai, aku langsung berkutat di depan layar laptop untuk menyelesaikan laporan praktikum. Sudah biasa, setiap hari Minggu geraiku sepi. Apalagi pada jam-jam yang rawan digunakan untuk berjalan-jalan oleh sebagian besar anak muda. Siapa pula yang merelakan hari libur untuk sekedar pergi ke tukang fotokopi, mengeprint bahan ujian atau memfotokopi catatan teman?

Jerry, teman kontrakanku sering meledek, “Dim, kau itu aneh ya. Dimana-mana, tukang fotokopi itu meliburkan diri di hari Minggu, beristirahat. Atau mungkin jalan-jalan dengan seseorang...” ia menggantungkan kalimatnya.

Aku hanya tertawa mendengar komentar itu. Lagipula, jika ‘berhari Minggu’ dengan siapa? Tembok? Cukuplah aku menghabiskan hari libur bersama mesin fotokopi dan tugas kuliah.

Aku masih sibuk dengan laporan praktikum, sementara rintik hujan terdengar pelan menerobos telinga. Semakin deras dan semakin deras. Memaksa hawa dingin menyergap, maka refleks kumatikan kipas angin. Aku beranjak dari hadapan laptop, berpikiran untuk menyeduh teh hangat.

Tidak sampai 10 menit, aku kembali dengan secangkir teh yang masih mengepulkan asap, menebar aroma khas melewati indera penciuman. Baru saja hendak duduk, seseorang berlari kecil masuk ke geraiku. Seorang gadis yang mengenakan jilbab abu-abu dan sweater warna senada yang basah dan terlihat kebesaran di tubuh mungilnya. Ia tampak terengah-engah.

Gadis itu memiliki alis mata yang melengkung natural, menaungi sepasang bola mata hitamnya yang belo. Hidungnya mancung, amat serasi dengan kedua belah pipinya yang tembem dan kini bersemu merah. Sebuah senyum merekah begitu manis di wajah itu. Subhanallah.

“Syukur alhamdulillah masih ada gerai fotokopi yang buka hari ini. Mas, mau nge-print sekaligus fotokopi bisa kan?” tanya gadis itu. Serta merta kedua mata belonya menghujamku tanpa ampun. 

“Mas, kok bengong?” kedua alisnya bertaut.

“Eh iya, silahkan, silahkan,” jawabku gelagapan dengan senyum bodoh tersungging kaku di wajahku. 

Karena sibuk menelusuri wajah itu, aku sampai lupa meletakkan cangkir tehku di meja.
Gadis itu tersenyum, lalu duduk di depan salah satu komputer dan mulai mengutak-atik file dalam flashdisk nya. Diam-diam, mataku masih mengekori gerak-geriknya.

Dering telepon tiba-tiba menyentakku. Aku buru-buru mengalihkan pandang darinya yang kini berbicara di telepon. Astaghfirullah, zina mata.

“Halo, assalamualaikum. Iya, Di? Iya, ini aku baru mau nge-print. Bahannya cuman yang kamu copy ke flashdisk ku kan? Oke, oke. Iya, beres. Hmm... iya, oke. Iya nih, setelah lama mencari akhirnya ketemu juga yang buka. Iya, tukang fotokopi pada asyik berhari Minggu deh kayaknya. Apa? Memangnya kenapa kalau aku sibuk menunggu mereka buka? Aku single terhormat kok walaupun nggak berhari Minggu!” celotehnya riang.

Aku tersenyum mendengar percakapannya itu. Single terhormat katanya? Persis pembelaan yang sering kulontarkan pada Jerry setiap meledekku.

“Iya, iya. Beres. Kamu besok hutang beliin aku cappucino ya. Aku basah-basahan nih, hehehe. Ya udah, bye! Waalaikumussalaam,” gadis itu mengalihkan ponsel di telinganya ke atas meja. Sesaat kemudian terdengar suara mesin printer mulai bekerja.

Gadis itu berdiri, lalu berbalik menghadap ke arahku, “Mas, nanti sekalian fotokopi, ya,” ucapnya padaku.

“Bisa, bisa,” jawabku.
Kami lalu sama-sama diam, menunggu mesin printer selesai mencetak.

“Dari tadi nyari gerai fotokopi yang buka, ya?” tanyaku pelan. Suaraku nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.

“Iya, Mas. Nggak ketemu-ketemu. Sepanjang Palagan tutup semua. Untung deh di sini buka. Perlu dicontoh nih, tukang fotokopi yang nggak pilih-pilih hari,” jawabnya tertawa kecil.
Aku mengulum senyum. “Ini mau difotokopi semua?”

“Iya, masing-masing 2 rangkap ya, Mas,” jawabnya.
Aku mengangguk dan langsung mengerjakannya. “Duduk dulu aja,”

Ia menurut, lalu kembali duduk di depan komputer. Memperhatikanku.
Ingin rasanya aku bertanya, apakah dia satu kampus denganku atau dia mahasiswa universitas yang letaknya di Kaliurang km. 14 itu? Namun aku tak cukup berani, karena takut menyinggungnya. Apa yang akan dipikirkannya jika aku, yang hanya seorang tukang fotokopi –di matanya- tiba-tiba bertanya hal yang pribadi seperti itu? Sementara sibuk berdebat dalam hati, pikiranku tetap tertuju pada bahan yang ia print itu. Tertulis besar-besar judul di halaman pertama power point itu PSIKOLOGI UMUM. Apa dia mahasiswa psikologi?

“Sudah siap,” kataku kemudian, “Jadi semuanya delapan ribu tiga ratus, ya,”

Gadis berjilbab itu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan, “Kembaliannya disimpan aja, Mas,” ucapnya tersenyum, mengambil alih fotokopiannya.

“Lho, tapi...”

Matur nuwun, Mas. Permisi,”         

Tak sempat aku menolak, ia sudah berlari menerobos derasnya hujan. Meninggalkan aku dan rasa penasaran dalam hati yang tidak terjawab.

Apa mungkin aku akan bertemu lagi dengan gadis itu?
**

Hari-hari berlalu dan aku memang tidak pernah lagi bertemu dengan gadis berjilbab itu. Namun tiada hari tanpa menaruh harapan agar ia kembali membutuhkan jasa fotokopiku atau setidaknya lewat di depan geraiku.

Aku baru saja sampai di gerai fotokopian menjelang maghrib. Arif menyambutku dengan bercerita, 
“Mas, tadi ada mahasiswa yang fotokopi tapi bayarnya lebih terus ra gelem dibalekke kembaliane. Subhanallah tenan, Mas. Wes ayu, ramah lagi,” dengan aksen Jawa yang kental.

Aku terkejut mendengar cerita itu. Jangan-jangan gadis itu... “Dia berjilbab? Bahan fotokopiane berhubungan karo psikologi ra, Rif?”

“Iya Mas, bener. Lha kok ngerti,Mas? Kancane Mas Dimas to?”

Aku menggeleng, “Bukan, Rif. Dia... memang pernah ke sini juga dan bayar lebih tapi nggak mau ambil kembalianne,” aku memutuskan untuk tidak menceritakan rasa penasaranku itu pada Arif.

Hal ini nyatanya terjadi berulang kali. Gadis itu memang kembali lagi pada hari-hari berikutnya untuk menggunakan jasa fotokopiku. Dan lagi, ia selalu menolak mengambil uang kembalian. Namun sayang, ia selalu datang ketika aku tidak ada. Aku mengetahui hal ini karena Arif dan Bang Jali selalu menceritakan perihal kedatangan “gadis ayu yang selalu membayar lebih tanpa meminta kembalianitu.
**

Hari ini adalah hari paling melelahkan karena 2 kali berturut-turut praktikum. Belum selesai lelah karena praktikum itu, laporan sudah menunggu. Aku baru saja sampai di gerai fotokopiku ketika mataku menemukan sebuah blocknote berwarna ungu di sudut meja.

“Rif, iki nggone sopo?”

“Oh, itu... Iyo Mas. Itu nggone Mbak-Mbak ayu yang selalu ndak mau dikasih kembalian. Kayak e sih dia buru-buru banget tadi, sampai ketinggalan gitu,” jawab Arif.

Jantungku berdegup kencang seketika. Jadi blocknote ini miliki gadis itu? Perlahan aku meraih blocknote itu dan membukanya. Di halaman pertama, tertulis jelas sebuah nama “Quinnita Dwi Kinanthi, Psikologi UII 2014”.

Detik itu, rasanya bongkahan batu besar yang selama ini menghimpitku terangkat seketika. Akhirnya setelah lama menunggu, aku mendapatkan nama gadis itu.

Ono opo, Mas? Kok senyam-senyum dewe, to?” tegur Arif yang sudah bersiap untuk pulang.

Rapopo, Rif. Suwun, yo,” aku menepuk bahunya dengan melebarkan senyum.

Maka tanpa menunggu, hari berikutnya, sekitar pukul sembilan pagi, aku meluncurkan motorku ke Jalan Kaliurang km.14 untuk mengembalikan blocknote milik gadis itu. Quinnita. Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mempermudah jalanku untuk bertemu dengannya. Tapi, apa dia masih ingat padaku? Kami sudah lama tidak bertemu. Apa mungkin ia masih ingat dengan si tukang fotokopi ini?

Motorku memasuki wilayah kampus UII. Namun aku harus menelan kekecewaan manakala aku melihat parkiran motor di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu sepi, hanya ada beberapa motor saja. Bahkan parkiran mobilnya pun sepi. Tapi kulihat fakultas lain tadi tetap masuk. Aku mematikan mesin motor, dan kuputuskan untuk bertanya pada penjaga parkiran.

“Permisi, Pak, numpang tanya. Hari ini kok Fakultas Psikologi ini sepi betul?”

“Woo, lha nggih, Mas. Ini kan hari Sabtu, ya memang libur. Memang biasane ada beberapa kelas yang masuk, untuk kuliah pengganti. Tapi selebihnya libur Mas,” jawab pria paruh baya itu.

Aku menepuk dahi. Ya ampun, kenapa aku bisa lupa kalau ini hari Sabtu? “Oh gitu. Nggih matur nuwun sanget, Pak. Permisi,”

Nggih, Mas, nggih. Sami-sami. Monggo,”

Aku menyalakan motor lalu meninggalkan kampus itu. Tuhan masih ingin menguji kesabaranku kali ini. Sudahlah, toh masih ada banyak hari setelah ini.

Hari Senin pagi, setelah kelas pertamaku bubar, tanpa banyak basa basi dengan teman-teman yang lain, aku langsung mengambil motorku di parkiran. Bahkan panggilan Jerry dan Ilham, tidak kuhiraukan. Tekadku sudah bulat untuk bertemu dengan gadis itu hari ini.

Perjalanan dari kampusku ke kaliurang km.14 kutempuh dalam waktu 20 menit. Setelah memarkirkan motor dengan aman, aku bergegas masuk ke Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu. Menyusuri lorong dan koridor kelasnya dengan mata liar mencari sosok gadis itu di antara mahasiswa lainnya.

Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Apa jangan-jangan dia sedang ada kelas? Atau dia belum datang? Atau justru sudah pulang? Atau buruknya dia tidak ke kampus? Oh pikiran buruk, menghilanglah! Aku berusaha mencarinya setenang mungkin meski jantungku berdebar keras.

Aku hampir saja berbelok ke arah tangga di atas tempat fotokopian mahasiswa, namun langkahku terhenti karena mataku menangkap seorang gadis berjilbab hitam, mengenakan baju berwarna abu-abu, juga rok lebar berwarna abu-abu tua turun dari tangga bersama beberapa mahasiswa lainnya. Itu Quinnita.

Aku buru-buru menenangkan diri sambil menyusun kata-kata untuk menyapanya. Kutunggu  hingga ia sampai di anak tangga terakhir. Saat itulah, ya, saat itulah mataku dan sepasang mata belonya bertemu. Ia tampak terkejut melihatku. Namun dari tatapan juga ekspresi wajahnya, aku yakin ia masih ingat padaku.

Aku menyunggingkan senyum kaku.

“Quinn, kok bengong?” tegur salah satu temannya.

“Eh, kalian duluan aja deh,” ia menoleh pada teman-temannya, yang disambut lirikan dan senyuman jahil mereka.

“Oke, nyusul ya!”

Gadis itu mengangguk seraya melambai. Sedetik setelahnya, ia kembali memutar bola matanya ke arahku. Senyum ragu perlahan melengkung di wajah itu.

“Hai,” sapaku, “Kamu masih ingat aku?” tanyaku dengan suara yang nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.

“Tentu saja. Mas yang fotokopiannya selalu buka, terutama di hari Minggu, kan?”

“Iya,” jawabku nyengir.

“Ternyata Masnya anak fakultas sini juga, ya? Jurusan apa, Mas? Kok aku jarang lihat ya sebelumnya?” sepasang mata belo itu kini menatapku dengan tatapan penuh tanya. Aku baru sadar jika mata itu tak hanya hitam bersih, tapi juga bersinar-sinar penuh ekspresi.

“Oh enggak. Sebenernya aku...” aku menyodorkan blocknote miliknya, dan ia tampak terkejut sekaligus senang.

MasyaaAllah, blocknote-ku! Jadi ketinggalan di gerai fotokopian Mas, ya? Ya ampun, aku pikir hilang di mana. Makasih banyak, Mas. Aku jadi nggak enak. Tapi, sebenarnya Masnya bener anak fakultas sini juga kah?”

Mungkinkah ini saatnya aku mengenalkan diriku sebagai seorang mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gajah Mada, pada gadis yang membuatku penasaran selama beberapa minggu terakhir?