Entah apa yang saat ini berdesakan di dalam dada dan raga. Semua yang dulu berjalan senada kini saling bertabrakan.
Bingung. Aku benar-benar bingung saat ini, kau tahu?
Kau terbingkai indah di dalam otak dan bersinar di dalam hati. Tapi kenapa sekarang hati dan pikiranku justru menolak? Semua perasaan, semua keinginan untuk melihatmu, memikirkanmu justru menghilang begitu saja. Kini, melihatmu di ponselku tak lagi menjadi pelipur lara dan gundah. Rasanya hambar.
Entahlah. Aku bingung.
Aku tidak tahu apa ini namanya.
Entah juga kepada siapa aku harus menceritakan dan menumpahkan semuanya.
Kita sudah lama tidak bertemu, kan? Mungkinkah itu penyebabnya? Mungkinkah karena sudah lama tidak melihatmu, keyakinan dan kesetiaanku padamu berkurang?
Jika kamu menyangka ini karena adanya orang lain, aku dengan lantang menjawab. Tidak pernah. Tidak pernah ada laki-laki lain yang menggantikanmu.
Aku tidak sedang menyukai orang lain, namun aku juga tidak bisa menyukaimu.
Entalah. Aku bingung.
Rasanya ingin melepaskan rasa sesak dalam dada yang beberapa hari ini mengangguku. Aku rindu perasaanku padamu yang dulu. Aku ingin kembali setia menunggumu. Berharap kamu akan datang. Berharap kita bisa berhadapan sekali lagi. Meskipun tidak mengatakan apa apa, sudahlah. Tidak penting bagiku.
Mungkin ini lagi lagi pikiran dan perasaan egoisku. Mungkin aku hanya ingin memastikan apakah rasa itu masih ada padaku?
Sewaktu kamu mengunggah salah satu fotomu bersama dua temanmu, tepat beberapa jam di hari yang sama ketika aku menggunggah foto dengan tulisan yang kutujukan untukmu, lagi lagi aku merasa di atas angin. Sudah kedua kalinya kamu menggunggah foto tepat setelahku. Ini kembali membuatku bingung, kau tahu?
AKu tak pernah rela melepaskanmu, tapi sejujurnya hatiku pun tak lagi merasakan apapun padamu.
Aku merasa hampa, kosong. Seperti mayat hidup karna sudah mati rasa.
Kau kaget ya, membaca suratku kali ini?
Atau kau malah senang karena akhirnya terbebeas dari perasaanku padamu? Kau jadi tak perlu repot repot memberitahuku agar berhenti menyukaimu, kan? Kau tidak perlu merasa tidak enak lagi padaku apalagi merasa kasihan padaku karena tidak punya rasa yang sama.
Kau boleh bernapas lega, kok.
Kau tahu? menyukaimu dan tidak lagi menyukaimu saat ini... sama sama menyakitkan bagiku. Aku bingung. Aku ingin menghapus semua wajahmu, senyummu, baik di kepala, hati maupun ponsel. Namun setiap kali membuka folder di masing masing tempat itu, aku selalu mengurungkan niatku. Aku berpikir lagi, didukung oleh hati. Bagaimana jika nanti aku rindu? Bagaimana jika rasa ini hanya rasa lelah saja? Bagaimana kalau nanti semua perasaan itu kembali? Bagaimana jika kamu berubah pikiran dan berlari mengejarku?
Ah, pede sekali aku, ya? Kamu pasti tertawa membacanya karena aku yang terlampau percaya diri.
Ini yang terus membuatku bingung.
Apakah aku harus diam atau berlari.
Apakah aku harus melepaskan atau bertahan.
Apakah aku harus tetap menyukaimu atau tidak.
Apakah aku harus tetap memaksa diriku untukmu?
Aku katakan padamu, tidak ada orang lain. Bukan itu masalahnya. Aku juga tidak tahu kenapa.
Bukankah jodoh selalu mudah jalannya? Jika terlihat dan terasa sulit, maka dia bukan jodohmu? Begitu, kan? Lantas apa namanya kita ini? Apakah aku salah menilai jalan ini terasa sulit, padahal sebenarnya kita tinggal bersabar dan menunggu waktu yang tepat saja, sampai tirai itu terbuka dan membiarkan kita berhadapan?
Dimana kau sekarang? Jauhkah dari tempatku berdiri saat ini?
Dimana kau skearang? Aku bahkan tak lagi bisa melihatmu.
Aku bingung sekali.
Menulis Jejak
"World is full of people and I wanna live in different way. By writing."
Jumat, 06 Mei 2016
Jumat, 24 April 2015
Sederhananya Hidup Kita
Assalamualaikum, sahabat blog!
Salam paling hangat kusampaikan dari
kota pelajar, Yogyakarta. Pagi ini aku menyempatkan duduk di hadapan laptop,
untuk berbagi sedikit inspirasi yang aku dapatkan ketika aku mengikuti salah
satu mata kuliahku di semester ini. Sesuai dengan judul pagi ini, mengenai
betapa sederhana sebenarnya hidup kita ini. Oh ya, untuk judul saja aku sudah
mengutip kata-kata dosen luar biasaku di mata kuliah tersebut.
Itu benar, teman-teman. Hidup kita sebenarnya
sangat sederhana. Kuncinya terletak pada dua kata ini: sabar dan syukur.
Seringnya kita mengeluhkan hal-hal
yang tidak seharusnya dikeluhkan. Bahkan untuk sesuatu yang terdengar sepele
atau sudah menjadi rutinitas kita setiap harinya. Seringnya kita mengeluhkan
betapa banyaknya tugas kuliah, ditambah kuis, UTS dan diakhiri dengan UAS. Kesibukan
di luar itu juga sudah menunggu, seperti kegiatan rapat pleno acara besar atau
rapat rutin organisasi. Banyak dari kita yang mengeluh lelah atau tidak punya
waktu bermain karena kesibukan itu.
Hal yang lebih kecil lagi, kita
sering mengeluhkan jadwal kuliah yang terlalu pagi. Padahal sudah bisa membuat
jadwal sendiri, tapi tetap saja ujung-ujungnya mendapat kelas pagi setiap hari.
Kita mengeluh dengan masalah tidak bisa
bangun pagi.
Kadang, ada juga keluhan yang membuat
tersenyum sendiri. Yaitu ketika beberapa dari kita mengeluh betapa lamanya
kelas 3 sks, hampir dua setengah jam mendengarkan dosen yang sama, duduk di
tempat yang sama dan dengan posisi yang sama. Aku akui, ini tidak mudah karena
bisa membuat bosan, mengantuk dan tidak konsentrasi lagi karena mahasiswa lain
mulai ribut.
Dari 3 contoh sederhana di atas, yang
sering terjadi pada orang lain, atau bahkan pernah kita alami sendiri, apakah
teman-teman pernah berpikir, bahwa sebenarnya keluhan yang terucap itu tidak
meringankan kelelahan, kebosanan dan kebiasan sulit bangun pagi itu?
Kita selalu punya pilihan dalam hidup
ini. Pada contoh pertama, kita mengeluhkan sesuatu yang menjadi risiko kita
sejak awal. Rutinitas kita setiap hari. Apakah dengan mengeluh kelelahan itu
akan terobati secara otomatis? Tentu tidak, kan? Sebenarnya kita punya pilihan
untuk mengatasi masalah itu. Pertama,
kita tetap menjalankan rutinitas itu dengan ikhlas dan sabar, mencoba untuk
mencintai rutinitas itu. Kedua, kita jalankan namun hanya setengah hati,
sehingga kita tidak mendapatkan apa-apa. Atau yang ketiga, kita tinggalkan semuanya
dan kita tidak akan pernah menjadi orang yang sukses karena kita enggan bekerja
keras. Pilihan yang cukup jelas, kan?
Pernahkah teman-teman berpikir bahwa
betapa indahnya hidup kita yang dipenuhi oleh kegiatan menyenangkan dan
produktif itu. Banyak di luar sana, anak muda seperti kita yang terkekang oleh
situasi dan keadaan, membuat mereka tidak bisa kuliah seperti kita. Tidak bisa
mencecap pendidikan yang layak karena masalah ekonomi yang tidak memungkinkan.
Atau bisa jadi, mereka yang terjerat oleh ketidakmampuan secara fisik untuk
melakukan banyak hal. Sedangkan kita, kita yang sehat dan diberi kemampuan oleh
Tuhan untuk menjadi generasi yang produktif, justru mengeluh dan tidak
bersyukur. Bagaimana jika Tuhan mencabut kenikmatan bernapas dan tubuh yang
sehat itu dari diri kita? Masih bisakah kita bahkan sekedar untuk mengucapkan keluhan?
Sama halnya dengan keluhan kita pada
kebiasaan sulit bangun pagi dan betapa bosannya masuk di kelas yang 3 sks itu.
Kita seharusnya banyak bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bisa
mencecap indahnya pendidikan. Banyak di luar sana yang jangankan untuk sekolah,
sekedar untuk makan saja, banyak yang masih kesulitan. Bahkan untuk bernapas
saja mereka berpikir. Haruskah aku
membayar setiap oksigen yang kuhirup? Saking takutnya ia pada dunia yang
kejam. Tapi nyatanya Tuhan begitu baik, memberikan nikmat yang luar biasa untuk
kita. Tidakkah kita malu pada diri sendiri dengan keluhan yang kita ucapkan?
Padahal ada hal yang jauh lebih bermanfaat dari pada mengeluh. Yaitu mensyukuri
segala hal yang masih kita miliki. Sederhana, kan?
Bicara soal mengeluh, pernahkah
teman-teman berpikir, bahwa ketika kita mengeluhkan hal-hal sepele, apa yang
akan terjadi dengan lingkungan kita? Keluarga, teman kuliah atau rekan kerja? Pernakah
terpikir, mereka akan mendengus dalam hati dan berkata, kau mengeluhkan sesuatu yang sejak awal menjadi pilihanmu. Bukankah itu
terdengar lucu? Atau tidak bisakah
dia sedikit lebih santai dan menjalankan saja apa yang sudah tergaris?
Percaya atau tidak, kita bisa
memberikan energi positif maupun negatif pada orang-orang di sekitar kita
melalui tindakan maupun ucapan kita. Sama halnya dengan mengeluh, kita menebar
energi negatif pada orang-orang di sekitar kita. Kita mengeluh dan membuat diri
kita semakin tidak berdaya karena keluhan itu, kita juga membuat mereka
merasakan energi yang negatif dari kita. Bukankah kita sudah membuat 2 kali
kerugian?
Sedikit menyinggung hal lain,
lagi-lagi ini adalah insipirasi dari dosen di mata kuliah yang sama, aku pernah
mendengarnya dari seseorang yang juga
banyak terinspirasi dari dosen kami, beliau berkata: “ketika kita ingin ‘merekrut’
seseorang yang spesial, maka kita harus mempertimbangkan dua hal. Pertama,
apakah orang tersebut bisa membuat kita bahagia. Kedua, apakah bersama dia,
akan membuat kita menjadi lebih baik,”
Dari pernyataan tersebut, kita bisa
merenung. Mungkinkah ada yang akan tertarik dan ‘merekrut’ kita sebagai seseorang dalam hidup mereka jika hal
yang bisa kita lakukan adalah mengeluhkan hidup? Apakah kita akan membuat
mereka bahagia dengan keluhan manja kita? Apakah kita bisa membuat mereka
berubah menjadi lebih baik? Jangankan merubah mereka, kita saja susah untuk
berubah. Apa iya, kita bisa merubah orang lain?
Maka dari sekarang, sudah saatnya
bagi kita untuk bersabar dan bersyukur dengan segala apa yang kita miliki. Kita
harus percaya, bahwa segala hal baik yang kita lakukan akan dibalas pula
sepantas-pantasnya, sebaik-baiknya oleh Tuhan.
Mungkin teman-teman merasa, aku sudah melakukan banyak hal baik. Namun kenapa
aku tidak mendapatkan balasan yang baik juga? Atau seperti ini aku sudah banyak sabar dan membantu banyak
orang, tapi kenapa beban hidupku justru semakin berat? Kapan mereka akan balik
membantuku?
Lagi-lagi bersabar adalah kunci dari
masalah itu. Tuhan bisa jadi telah menyiapkan hal baik dan pertolongan untuk
kita ketika kita benar-benar membutuhkan bantuan itu. Mungkin hal baik tidak
terjadi secara langsung dan secepat kilat setelah kita menolong orang. Bisa
jadi Tuhan telah jauh menyiapkan pertolongan ketika kita benar-benar dalam
situasi yang sulit. Saat itulah pertolongan dan kemudahan datang. Bukankah
Tuhan menjawab doa kita dalam 4 cara? Pertama, langsung dikabulkan saat itu
juga. Kedua, ditunda waktunya. Ketiga, diganti dengan yang lebih baik. Keempat,
tidak dikabulkan sama sekali. Bukankah kita percaya hal itu?
Ketika memang tidak dikabulkan,
mungkin memang hal yang kita inginkan itu tidak baik untuk kita. Lagi-lagi,
kita harus bersabar. Yakin, bahwa semua hal baik pasti akan dibalas
sepantas-pantasnya.
Sama dengan perjuangan yang kita
lakukan selama menjadi mahasiswa. Memang perjalanan yang kita lakukan tidaklah
mudah. Banyak tantangan, ujian dan cobaan datang bertubi-tubi. Namun dengan
kesabaran dan rasa syukur yang tiada henti, akan membawa kita menjadi pribadi
yang jauh lebih baik.
Mulailah untuk tidak lagi mengeluhkan
hal sekecil apapun itu.
Di akhir tulisan ini, sekali lagi,
hidup sangatlah sederhana. Hidup adalah untuk kita jalani seindah mungkin,
sebaik mungkin, agar membuat kita bahagia dan membuat hidup kita bermakna lagi
berarti. Tidak hanya untuk kita tapi juga orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Tak mengapa lelah, asal lillah.
Semua akan terasa ringan dan indah pada waktunya.
Semoga tulisan kali ini membawa
inspirasi juga untuk teman-teman.
Salam hangat dari Yogyakarta.
Senin, 06 April 2015
Sekilas Pandangan Tentang Nikah Muda
Halo, bloggers di manapun berada. Alhamdulillah di sela kesibukan tugas yang berseliweran di depan mata, aku masih sanggup menuangkan unek-unek dalam bentuk tulisan ini.
Well, kali ini aku gemas ingin
membahas mengenai nikah muda yang
sepertinya sih sekarang, nikah muda
marak lagi. Kenapa aku bilang lagi? Karena
dulu, pada generasi baby boomers dulu,
nikah muda bukanlah hal yang tabu atau aneh. Banyak dari mereka yang menikah
pada usia yang belia. Bahkan untuk
perempuan, menikah pada usia remaja, sekitar 15 atau 16 tahun adalah suatu tradisi pada saat itu. Beberapa dari
kita mungkin pernah terkejut mendengar cerita nenek kakek kita dulu, yang menikah
setelah lulus SMA atau bahkan setelah lulus SMP. Kita mungkin berdecak kasihan
pada mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Banyak yang dipaksa menikah karena
orangtua sudah tak mampu lagi membiayai sekolah, dan menganggap pernikahan
adalah jalan terbaiknya.
Orangtua zaman dulu biasanya berkata,
“Buat apa anak perempuan sekolah
tinggi-tinggi, lha wong
ujung-ujungnya balik neng dapur,”
Nah ternyata, tren nikah muda
sekarang kembali muncul ke permukaan. Jangan heran kalau, banyak teman-teman
kita yang bahkan baru masuk kuliah, sudah memutuskan untuk menikah. Padahal
usia juga belum menginjak kepala dua. Toh mereka santai-santai saja, dan banyak
yang bukan karena dipaksa atau dijodohkan.
Memang, nggak ada larangan di agama
kita dalam hal menikah muda. Yang jelas-jelas dilarang itu kan pacaran. Justru jauh lebih baik
menyegerakan menikah kalau memang sudah siap dan nggak bisa berpuasa lagi. Daripada mengarah ke arah
yang nggak baik, lebih baik langsung ke pelaminan.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah
apa benar, ketika memutuskan untuk melepas masa lajang di usia yang belia
sesederhana itu tanggung jawabnya? Apa iya, kita sudah siap secara mental untuk
hidup berdua dengan seseorang yang bisa dibilang “newbie” dalam hidup kita?
Banyak yang bilang, ketika kita
menikah, rejeki menjadi lancar dan kehidupan jauh lebih indah karena setiap
harinya melihat sosok yang kita cintai berada di sisi kita. Tapi apa iya,
pernikahan itu mulu membahas tentang kebahagiaan? Tentu enggak, kan, bloggers?
Jika dilihat dari usia, ketika kita
masih 20 tahun, rasanya tidak sama kesiapan mental maupun kognisinya dengan
mereka yang berusia 25 atau 27 tahun, kan? Dari segi pengalaman pun kita yang
masih 20 tahun atau bahkan 19 tahun jelas belum banyak. Jika membicarakan soal
kedewasaan, memang banyak yang lebih muda bisa jauh lebih dewasa dibanding
mereka yang berusia awal 30-an. Tapi, sekali lagi, kedewasaan nggak mulu
tentang kognisi, kan? Pengalaman juga berperan banyak dalam membentuk
kedewasaan.
Ketika kita yang 19 atau 20 tahun ini
masih duduk di bangku kuliah, jelas memiliki perbedaan pengalaman dengan mereka
yang sudah mapan dan berpenghasilan. Dalam menyelesaikan tugas kuliah saja kita
masih grotal gratul, menulis skripsi
saja masih ditunda-tunda dan menunggu ada yang menyindir dulu baru mau on fire
lagi. Bagaimana nanti menyelesaikan konflik kecil dalam rumah tangga? (buat
para perempuan) Membedakan laos dan kunyit saja belum bisa, mau langsung
menikah saja. Bagaimana nanti menyiapkan sarapan untuk suami?
Belum lagi jika bicara masalah anak. Pasangan
mana yang tidak mengidamkan seorang anak? Masalahnya, dengan usia yang masih
sangat belia, khususnya perempuan, apakah sudah matang secara mental dan
kognisi untuk mengandung? Hamil bukanlah sebuah permainan peran yang
sewaktu-waktu boleh kita minta ganti jika tidak kuat atau tidak cocok dengan
itu. Selama 9 bulan 10 hari, seorang bakal bayi tumbuh dan berlindung di dalam
rahim, bukanlah hal yang sepele. Jika masih minim pengetahuan tentang
kehamilan, apa nggak kasihan dengan calon bayinya?
Banyak dari teman-teman kita yang
menikah muda kemudian hamil dan tidak kuat dengan kondisi ibu hamil yang ngapa-ngapain serba susah. Sekedar tidur
saja susah. Bernapas susah, mau makan sedikit muntah, dan sebagainya. Belum
lagi setelah melahirkan, mereka akan mengalami baby blues syndrom atau merasa lelah, sedih dan tidak sanggup
merawat bayi. Nah, kalau sudah begini, bagaimana?
Dari beberapa paragrag yang sudah aku
jabarkan tadi, memang tidak sepenuhnya benar dan terjadi pada semua pasangan
nikah muda. Tapi, ada beberapa dari mereka yang mengalaminya. Nggak jarang lho,
pernikahan di usia muda justru berujung pada perceraian karena masalah yang
datang bertubi-tubi dan tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan emosi
yang nggak meledak-ledak.
Nah, bukan berarti juga menunda menikah itu
justru beralih pada pacaran. Ini jelas BIG NO. Ada baiknya sebelum siap dan
pasti, kita jangan melibatkan perihal perasaan dan hati dulu. Masih banyak hal
positif yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu kesendirian kita sebelum
melepas masa lajang. Bagi kita yang perempuan, penting bagi kita untuk memiliki
pengetahuan mengenai perkembangan anak, dan tentunya pengetahuan perihal rumah
khususnya bagian dapur. Kalau kita saja belum bisa merawat diri kita dengan
baik, bagaimana mau merawat suami kita nanti? Terlebih merawat anak kita
sendiri. Yang ada kita akan kelelahan dan bahkan jangan-jangan menyeret
orangtua lagi dalam rumah tangga.
Tak perlu buru-buru dalam memutuskan
siapa yang akan menjadi pendamping kita. Ketika kita sama-sama berjuang untuk
saling menemukan dengan cara memperbaiki diri dan memantaskan hati, maka
pastilah Allah akan menunjukkan jalan baikNya untuk mempertemukan kita dengan
sosok yang akan menggenapkan kita kelak.
Jika sudah siap betul, nggak ada
salahnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah adalah peristiwa luar
biasa yang didambakan setiap manusia. Berbahagialah yang akan segera menjajaki
tahap besar itu.
Untuk kita yang masih berusaha saling
menemukan, mari bersabar dan terus berdoa. Usaha saja tidak cukup. Doa juga
penting dalam hal ini. Mudah-mudahan pada usia berapapun kita dipertemukan
dengan sosok penggenap nantinya, ridho Allah selalu bersama kita.
Aamiin ^^
Senin, 09 Maret 2015
#1 Problematika Remaja Tanggung
Hari ini
entah kenapa, ingin sekali membahas satu fenomena yang menjadi tren anak remaja berseragam putih biru
dan putih abu-abu, bahkan parahnya yang masih putih merah.
“Fenomena
pacaran”
Mengingat
status saya yang sudah resmi menjadi mahasiswa sejak 6 bulan terakhir, tentu
saja saya sudah menganggap diri sendiri sebagai non remaja lagi. Jadi, sah-sah
saja rasanya jika saya kini memandang dunia remaja dan fenomena pacaran melalui
sudut pandang dewasa awal.
Pertanyaan
besarnya kenapa saya tertarik untuk membahas mengenai pacaran sementara saya
sebagai seorang muslimah sudah cukup paham jika pacaran itu tidak ada Islam?
Jawabannya sederhana saja, sih. Karena meskipun sudah jelas fenomena ini
dilarang agama dan bahkan sudah terbit buku yang terang-terangan mengancam para
jiwa muda yang dimabuk asmara, masih banyak saja tuh remaja kita yang
melenggang dengan bangganya bersama sang pacar. Duh, Dek...
Sering
saya temui remaja tanggung di mall,
berduaan dengan lawan jenis. Entah hanya jalan-jalan melepas penat setelah “lelah
seharian di sekolah” (kalau capek
sekolah, terus mau ngapain, Dek?), menonton bioskop, makan di cafe atau numpang selfie bareng pacar biar eksis terus upload di semua sosial media yang
dimiliki. (ups, hihihi). Kita yang
mahasiswa saja mau nonton bioskop apalagi makan di cafe harus
mikir seratus kali, lho. Ini bukan hanya membayar untuk diri sendiri, tapi
sekalian traktir pacar. (Duh, itu dompet nggak takut bolong? :D)
Saya
senyam-senyum sendiri kalau melihat mereka berangkulan, bergandengan atau
tatap-tatapan mesra sambil sayang-sayangan. Bukan iri atau apa, tapi jadi mikir
sendiri. Udah pada pintar di sekolah atau cari uang ya, sampai berani beradegan
yang seharusnya dilakukan setelah mendapatkan ijabsyah (?)
Mungkin
dalam pembahasan kali ini saya tidak ingin banyak menyinggung soal hukumnya
dalam agama kita, karena saya merasa ada yang lebih jago dalam hal tersebut.
Oke, bicara
soal fenomena pacaran, sebenarnya hal yang membuat saya bingung adalah alasan
yang diberikan oleh para remaja, mengapa mereka berpacaran. Biasanya paling
banyak sih menganggap pacaran itu
menjadi motivasi sekolah. Hmm... kedengarannya menarik. Tapi kita coba lihat
cuplikan yang satu ini:
*Awal masuk kelas 3 SMA*
Cowok: Kamu mau nggak jadi pacar aku?
Cewek: (malu-malu) Iya, aku mau
Lantas keduanya resmi jadian dan
membuat dunia seolah hanya milik berdua. Kemana-mana sama-sama. Dimulailah panggilan
sayang dan lain sebagainya. Tapi...
*Menjelang Ujian Nasional*
Cewek: Aku mau kita putus
Cowok: Lho, kenapa, Sayang? Aku salah
apa?
Cewek: Aku nggak mau nilai ujianku
jelek gara-gara kita pacaran. Aku mau fokus ujian dulu.
Jedeeeer!!!! Akhirnya hubungan
tersebut kandas di tengah jalan.
Ini adalah
salah satu problematika yang sering kali terjadi di kalangan pelajar SMA. Yang
tadinya setuju untuk menjalani hubungan tiba-tiba mengakhiri secara sepihak
karena nilai turun atau ingin fokus studi dulu. Duh Dek, dari kemarin kemana aja? Kalau mau berenang, ya jangan
takut basah dong. Sudah tahu bakalan menghadapi ujian, tapi kok masih nekad aja
pacaran.
Apakah ini
yang dinamakan motivasi belajar? Tidak jarang kan, kita temui pasangan yang
bertengkar malam harinya, kemudian tidak bisa konsentrasi belajar padahal esok
harinya ada ulangan atau kuis. Alhasil nilai jelek dan orangtua bisa apa selain
mempertanyakan tanggung jawab atas nilai tersebut?
Tidak ada
yang bisa menjamin 100 persen bahwa pacaran itu menjadi vitamin terbaik dalam
menjalankan studi baik sekolah maupun kuliah. Kalau memang butuh asupan
tambahan dalam penyemangat, bisa saja melalui orangtua. Mereka tidak akan
menjerumuskan kita, justru dari merekalah kita bisa berhasil. Doa orangtualah
yang membawa kita menuju kesuksesan. Jenuh karena aktivitas yang monoton di
sekolah atau kampus? kita masih punya sahabat yang baik, yang setia
mendengarkan keluh kesah kita dan membuat pikiran kita menjadi segar lagi
karena bercanda dan tertawa bersama.
See? Kita punya banyak pilihan.
Mengapa
harus berdua jika sendiri saja jauh lebih keren? Jangan iri melihat mereka yang
masih berseragam putih abu-abu atau masih kuliah dan sudah memiliki kekasih
namun belum bisa menghidupi diri apalagi membawa hubungan itu ke jenjang yang
lebih serius. Tidak ada yang bisa menjamin hubungan pacaran itu bisa bertahan
ke jenjang pernikahan, kok.
Kita boleh
iri pada mereka yang masih muda, tapi sudah sukses dan siap membawa seseorang
yang mereka cintai ke jenjang pernikahan tanpa jalan maksiat alias pacaran. Dengan itu, kita akan semangat mencapai impian kita, mendulang kesuksesan dalam karir dan juga percintaan. Kemudian membangun rumah tangga yang diridhoi orangtua juga Allah swt. Bahagia mana, coba? :D
So, masih kesindir sama truk yang
gandengan? Ah, buat apa gandengan, toh mobil balap F1 melesat sendiri lebih
keren, kok!:D
Minggu, 08 Maret 2015
Mesin Fotokopi, Hujan dan Dia
Sudah menjadi komitmenku sejak awal ketika membuka bisnis
kecil-kecilan gerai fotokopian sekaligus jasa printer dengan harga mahasiswa ini
untuk tidak turut libur di hari Minggu seperti gerai fotokopi lainnya. Alasanku
sederhana. Pasti akan ada saja satu atau dua mahasiswa yang tetap membutuhkan
jasa fotokopi atau printer di hari libur, kan? Mengingat aku yang juga
mahasiswa dan membutuhkan itu.
Hanya saja khusus di hari Minggu, aku sengaja membuka gerai fotokopi
lebih siang dari biasanya. Jika pada hari kerja, aku biasa membuka gerai pukul
enam pagi dan tutup pada pukul 11 malam, maka pada hari Minggu, pukul sembilan
pagi dan tutup pukul sembilan malam. Selain itu, biasanya di hari kerja aku
menitipkan gerai fotokopi pada Bang Jali, pemilik bengkel motor di samping
geraiku, dan keponakannya, Arif, yang hanya tamatan SMK.
Namun menjelang sore sepulang kuliah, akulah yang menjaga gerai
fotokopi hingga tutup. Tak jarang aku mengerjakan tugas kuliah di sini, bukan
di rumah kontrakan. Sedangkan pada hari Minggu, akulah yang setia berada di
sisi mesin fotokopi. Menunggu pelanggan.
Biasanya, mahasiswa yang banyak menjadi pelangganku justru adalah
mahasiswa dari universitas swasta yang letaknya di Jalan Kaliurang km. 14.5 karena
letak gerai ini berada di Jalan Kaliurang km. 8,5 dan rumah kontrakanku hanya
berjarak 200 meter dari sini. Cukup jauh memang dari kampusku, yang berada di
Bulak Sumur. Namun, yang penting bukanlah berapa jauh jarak, tapi setiap hari
tetap berangkat ke kampus dan on time.
Hari Minggu ini, setelah berolahraga di jogging track kampus, aku langsung sarapan, mandi, dan bergegas
membuka gerai fotokopian. Sejak pagi, awan mendung menggelayut rendah menaungi
kota Yogyakarta. Sesaat setelah menyapu dan membereskan gerai, aku langsung
berkutat di depan layar laptop untuk menyelesaikan laporan praktikum. Sudah
biasa, setiap hari Minggu geraiku sepi. Apalagi pada jam-jam yang rawan
digunakan untuk berjalan-jalan oleh sebagian besar anak muda. Siapa pula yang
merelakan hari libur untuk sekedar pergi ke tukang fotokopi, mengeprint bahan
ujian atau memfotokopi catatan teman?
Jerry, teman kontrakanku sering meledek, “Dim, kau itu aneh ya.
Dimana-mana, tukang fotokopi itu meliburkan diri di hari Minggu, beristirahat.
Atau mungkin jalan-jalan dengan seseorang...” ia menggantungkan kalimatnya.
Aku hanya tertawa mendengar komentar itu. Lagipula, jika ‘berhari
Minggu’ dengan siapa? Tembok? Cukuplah aku menghabiskan hari libur bersama
mesin fotokopi dan tugas kuliah.
Aku masih sibuk dengan laporan praktikum, sementara rintik hujan
terdengar pelan menerobos telinga. Semakin deras dan semakin deras. Memaksa
hawa dingin menyergap, maka refleks kumatikan kipas angin. Aku beranjak dari
hadapan laptop, berpikiran untuk menyeduh teh hangat.
Tidak sampai 10 menit, aku kembali dengan secangkir teh yang masih
mengepulkan asap, menebar aroma khas melewati indera penciuman. Baru saja
hendak duduk, seseorang berlari kecil masuk ke geraiku. Seorang gadis yang
mengenakan jilbab abu-abu dan sweater warna senada yang basah dan terlihat
kebesaran di tubuh mungilnya. Ia tampak terengah-engah.
Gadis itu memiliki alis mata yang melengkung natural, menaungi
sepasang bola mata hitamnya yang belo. Hidungnya mancung, amat serasi dengan
kedua belah pipinya yang tembem dan kini bersemu merah. Sebuah senyum merekah
begitu manis di wajah itu. Subhanallah.
“Syukur alhamdulillah masih
ada gerai fotokopi yang buka hari ini. Mas, mau nge-print sekaligus fotokopi bisa kan?” tanya gadis itu. Serta merta
kedua mata belonya menghujamku tanpa ampun.
“Mas, kok bengong?” kedua alisnya
bertaut.
“Eh iya, silahkan, silahkan,” jawabku gelagapan dengan senyum bodoh
tersungging kaku di wajahku.
Karena sibuk menelusuri wajah itu, aku sampai lupa
meletakkan cangkir tehku di meja.
Gadis itu tersenyum, lalu duduk di depan salah satu komputer dan mulai
mengutak-atik file dalam flashdisk
nya. Diam-diam, mataku masih mengekori gerak-geriknya.
Dering telepon tiba-tiba menyentakku. Aku buru-buru mengalihkan
pandang darinya yang kini berbicara di telepon. Astaghfirullah, zina mata.
“Halo, assalamualaikum. Iya,
Di? Iya, ini aku baru mau nge-print.
Bahannya cuman yang kamu copy ke flashdisk ku kan? Oke, oke. Iya, beres.
Hmm... iya, oke. Iya nih, setelah lama mencari akhirnya ketemu juga yang buka.
Iya, tukang fotokopi pada asyik berhari Minggu deh kayaknya. Apa? Memangnya
kenapa kalau aku sibuk menunggu mereka buka? Aku single terhormat kok walaupun nggak berhari Minggu!” celotehnya
riang.
Aku tersenyum mendengar percakapannya itu. Single terhormat katanya? Persis pembelaan yang sering kulontarkan
pada Jerry setiap meledekku.
“Iya, iya. Beres. Kamu besok hutang beliin aku cappucino ya. Aku basah-basahan nih, hehehe. Ya udah, bye! Waalaikumussalaam,”
gadis itu mengalihkan ponsel di telinganya ke atas meja. Sesaat kemudian
terdengar suara mesin printer mulai bekerja.
Gadis itu berdiri, lalu berbalik menghadap ke arahku, “Mas, nanti
sekalian fotokopi, ya,” ucapnya padaku.
“Bisa, bisa,” jawabku.
Kami lalu sama-sama diam, menunggu mesin printer selesai mencetak.
“Dari tadi nyari gerai fotokopi yang buka, ya?” tanyaku pelan. Suaraku
nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.
“Iya, Mas. Nggak ketemu-ketemu. Sepanjang Palagan tutup semua. Untung
deh di sini buka. Perlu dicontoh nih, tukang fotokopi yang nggak pilih-pilih
hari,” jawabnya tertawa kecil.
Aku mengulum senyum. “Ini mau difotokopi semua?”
“Iya, masing-masing 2 rangkap ya, Mas,” jawabnya.
Aku mengangguk dan langsung mengerjakannya. “Duduk dulu aja,”
Ia menurut, lalu kembali duduk di depan komputer. Memperhatikanku.
Ingin rasanya aku bertanya, apakah dia satu kampus denganku atau dia
mahasiswa universitas yang letaknya di Kaliurang km. 14 itu? Namun aku tak
cukup berani, karena takut menyinggungnya. Apa yang akan dipikirkannya jika
aku, yang hanya seorang tukang fotokopi –di matanya- tiba-tiba bertanya hal
yang pribadi seperti itu? Sementara sibuk berdebat dalam hati, pikiranku tetap
tertuju pada bahan yang ia print itu. Tertulis besar-besar judul di halaman
pertama power point itu PSIKOLOGI UMUM. Apa
dia mahasiswa psikologi?
“Sudah siap,” kataku kemudian, “Jadi semuanya delapan ribu tiga ratus,
ya,”
Gadis berjilbab itu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan,
“Kembaliannya disimpan aja, Mas,” ucapnya tersenyum, mengambil alih
fotokopiannya.
“Lho, tapi...”
“Matur nuwun, Mas. Permisi,”
Tak sempat aku menolak, ia sudah berlari menerobos derasnya hujan.
Meninggalkan aku dan rasa penasaran dalam hati yang tidak terjawab.
Apa mungkin aku akan bertemu lagi dengan gadis itu?
**
Hari-hari berlalu dan aku memang tidak pernah lagi bertemu dengan
gadis berjilbab itu. Namun tiada hari tanpa menaruh harapan agar ia kembali
membutuhkan jasa fotokopiku atau setidaknya lewat di depan geraiku.
Aku baru saja sampai di gerai fotokopian menjelang maghrib. Arif
menyambutku dengan bercerita,
“Mas, tadi ada mahasiswa yang fotokopi tapi
bayarnya lebih terus ra gelem dibalekke kembaliane. Subhanallah tenan, Mas. Wes ayu, ramah lagi,” dengan aksen Jawa yang kental.
Aku terkejut mendengar cerita itu. Jangan-jangan gadis itu... “Dia
berjilbab? Bahan fotokopiane
berhubungan karo psikologi ra, Rif?”
“Iya Mas, bener. Lha kok ngerti,Mas? Kancane Mas Dimas to?”
Aku menggeleng, “Bukan, Rif. Dia... memang pernah ke sini juga dan bayar
lebih tapi nggak mau ambil kembalianne,”
aku memutuskan untuk tidak menceritakan rasa penasaranku itu pada Arif.
Hal ini nyatanya terjadi berulang kali. Gadis itu memang kembali lagi
pada hari-hari berikutnya untuk menggunakan jasa fotokopiku. Dan lagi, ia
selalu menolak mengambil uang kembalian. Namun sayang, ia selalu datang ketika
aku tidak ada. Aku mengetahui hal ini karena Arif dan Bang Jali selalu
menceritakan perihal kedatangan “gadis ayu
yang selalu membayar lebih tanpa meminta kembalian” itu.
**
Hari ini adalah hari paling melelahkan karena 2 kali berturut-turut
praktikum. Belum selesai lelah karena praktikum itu, laporan sudah menunggu.
Aku baru saja sampai di gerai fotokopiku ketika mataku menemukan sebuah blocknote berwarna ungu di sudut meja.
“Rif, iki nggone sopo?”
“Oh, itu... Iyo Mas. Itu nggone Mbak-Mbak ayu yang selalu ndak mau
dikasih kembalian. Kayak e sih dia
buru-buru banget tadi, sampai ketinggalan gitu,” jawab Arif.
Jantungku berdegup kencang seketika. Jadi blocknote ini miliki gadis itu? Perlahan aku meraih blocknote itu dan membukanya. Di halaman
pertama, tertulis jelas sebuah nama “Quinnita Dwi Kinanthi, Psikologi UII
2014”.
Detik itu, rasanya bongkahan batu besar yang selama ini menghimpitku
terangkat seketika. Akhirnya setelah lama menunggu, aku mendapatkan nama gadis
itu.
“Ono opo, Mas? Kok
senyam-senyum dewe, to?” tegur Arif yang sudah bersiap untuk
pulang.
“Rapopo, Rif. Suwun, yo,” aku menepuk bahunya dengan melebarkan
senyum.
Maka tanpa menunggu, hari berikutnya, sekitar pukul sembilan pagi, aku
meluncurkan motorku ke Jalan Kaliurang km.14 untuk mengembalikan blocknote
milik gadis itu. Quinnita. Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mempermudah jalanku
untuk bertemu dengannya. Tapi, apa dia masih ingat padaku? Kami sudah lama
tidak bertemu. Apa mungkin ia masih ingat dengan si tukang fotokopi ini?
Motorku memasuki wilayah kampus UII. Namun aku harus menelan
kekecewaan manakala aku melihat parkiran motor di Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya itu sepi, hanya ada beberapa motor saja. Bahkan parkiran mobilnya
pun sepi. Tapi kulihat fakultas lain tadi tetap masuk. Aku mematikan mesin
motor, dan kuputuskan untuk bertanya pada penjaga parkiran.
“Permisi, Pak, numpang tanya. Hari ini kok Fakultas Psikologi ini sepi
betul?”
“Woo, lha nggih, Mas. Ini
kan hari Sabtu, ya memang libur. Memang biasane ada beberapa kelas yang masuk,
untuk kuliah pengganti. Tapi selebihnya libur Mas,” jawab pria paruh baya itu.
Aku menepuk dahi. Ya ampun,
kenapa aku bisa lupa kalau ini hari Sabtu? “Oh gitu. Nggih matur nuwun sanget,
Pak. Permisi,”
“Nggih, Mas, nggih. Sami-sami. Monggo,”
Aku menyalakan motor lalu meninggalkan kampus itu. Tuhan masih ingin
menguji kesabaranku kali ini. Sudahlah, toh masih ada banyak hari setelah ini.
Hari Senin pagi, setelah kelas pertamaku bubar, tanpa banyak basa basi
dengan teman-teman yang lain, aku langsung mengambil motorku di parkiran.
Bahkan panggilan Jerry dan Ilham, tidak kuhiraukan. Tekadku sudah bulat untuk
bertemu dengan gadis itu hari ini.
Perjalanan dari kampusku ke kaliurang km.14 kutempuh dalam waktu 20
menit. Setelah memarkirkan motor dengan aman, aku bergegas masuk ke Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya itu. Menyusuri lorong dan koridor kelasnya
dengan mata liar mencari sosok gadis itu di antara mahasiswa lainnya.
Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Apa jangan-jangan dia
sedang ada kelas? Atau dia belum datang? Atau justru sudah pulang? Atau
buruknya dia tidak ke kampus? Oh pikiran buruk, menghilanglah! Aku berusaha
mencarinya setenang mungkin meski jantungku berdebar keras.
Aku hampir saja berbelok ke arah tangga di atas tempat fotokopian
mahasiswa, namun langkahku terhenti karena mataku menangkap seorang gadis berjilbab
hitam, mengenakan baju berwarna abu-abu, juga rok lebar berwarna abu-abu tua
turun dari tangga bersama beberapa mahasiswa lainnya. Itu Quinnita.
Aku buru-buru menenangkan diri sambil menyusun kata-kata untuk
menyapanya. Kutunggu hingga ia sampai di
anak tangga terakhir. Saat itulah, ya, saat itulah mataku dan sepasang mata
belonya bertemu. Ia tampak terkejut melihatku. Namun dari tatapan juga ekspresi
wajahnya, aku yakin ia masih ingat padaku.
Aku menyunggingkan senyum kaku.
“Quinn, kok bengong?” tegur salah satu temannya.
“Eh, kalian duluan aja deh,” ia menoleh pada teman-temannya, yang
disambut lirikan dan senyuman jahil mereka.
“Oke, nyusul ya!”
Gadis itu mengangguk seraya melambai. Sedetik setelahnya, ia kembali
memutar bola matanya ke arahku. Senyum ragu perlahan melengkung di wajah itu.
“Hai,” sapaku, “Kamu masih ingat aku?” tanyaku dengan suara yang
nyaris tercekat di tenggorokan saking gugupnya.
“Tentu saja. Mas yang fotokopiannya selalu buka, terutama di hari
Minggu, kan?”
“Iya,” jawabku nyengir.
“Ternyata Masnya anak fakultas sini juga, ya? Jurusan apa, Mas? Kok
aku jarang lihat ya sebelumnya?” sepasang mata belo itu kini menatapku dengan
tatapan penuh tanya. Aku baru sadar jika mata itu tak hanya hitam bersih, tapi
juga bersinar-sinar penuh ekspresi.
“Oh enggak. Sebenernya aku...” aku menyodorkan blocknote miliknya, dan ia tampak terkejut sekaligus senang.
“MasyaaAllah, blocknote-ku! Jadi ketinggalan di gerai
fotokopian Mas, ya? Ya ampun, aku pikir hilang di mana. Makasih banyak, Mas. Aku
jadi nggak enak. Tapi, sebenarnya Masnya bener anak fakultas sini juga kah?”
Mungkinkah ini saatnya aku mengenalkan diriku sebagai seorang
mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Gajah Mada, pada gadis yang membuatku
penasaran selama beberapa minggu terakhir?
Langganan:
Komentar (Atom)