Halo, bloggers di manapun berada. Alhamdulillah di sela kesibukan tugas yang berseliweran di depan mata, aku masih sanggup menuangkan unek-unek dalam bentuk tulisan ini.
Well, kali ini aku gemas ingin
membahas mengenai nikah muda yang
sepertinya sih sekarang, nikah muda
marak lagi. Kenapa aku bilang lagi? Karena
dulu, pada generasi baby boomers dulu,
nikah muda bukanlah hal yang tabu atau aneh. Banyak dari mereka yang menikah
pada usia yang belia. Bahkan untuk
perempuan, menikah pada usia remaja, sekitar 15 atau 16 tahun adalah suatu tradisi pada saat itu. Beberapa dari
kita mungkin pernah terkejut mendengar cerita nenek kakek kita dulu, yang menikah
setelah lulus SMA atau bahkan setelah lulus SMP. Kita mungkin berdecak kasihan
pada mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Banyak yang dipaksa menikah karena
orangtua sudah tak mampu lagi membiayai sekolah, dan menganggap pernikahan
adalah jalan terbaiknya.
Orangtua zaman dulu biasanya berkata,
“Buat apa anak perempuan sekolah
tinggi-tinggi, lha wong
ujung-ujungnya balik neng dapur,”
Nah ternyata, tren nikah muda
sekarang kembali muncul ke permukaan. Jangan heran kalau, banyak teman-teman
kita yang bahkan baru masuk kuliah, sudah memutuskan untuk menikah. Padahal
usia juga belum menginjak kepala dua. Toh mereka santai-santai saja, dan banyak
yang bukan karena dipaksa atau dijodohkan.
Memang, nggak ada larangan di agama
kita dalam hal menikah muda. Yang jelas-jelas dilarang itu kan pacaran. Justru jauh lebih baik
menyegerakan menikah kalau memang sudah siap dan nggak bisa berpuasa lagi. Daripada mengarah ke arah
yang nggak baik, lebih baik langsung ke pelaminan.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah
apa benar, ketika memutuskan untuk melepas masa lajang di usia yang belia
sesederhana itu tanggung jawabnya? Apa iya, kita sudah siap secara mental untuk
hidup berdua dengan seseorang yang bisa dibilang “newbie” dalam hidup kita?
Banyak yang bilang, ketika kita
menikah, rejeki menjadi lancar dan kehidupan jauh lebih indah karena setiap
harinya melihat sosok yang kita cintai berada di sisi kita. Tapi apa iya,
pernikahan itu mulu membahas tentang kebahagiaan? Tentu enggak, kan, bloggers?
Jika dilihat dari usia, ketika kita
masih 20 tahun, rasanya tidak sama kesiapan mental maupun kognisinya dengan
mereka yang berusia 25 atau 27 tahun, kan? Dari segi pengalaman pun kita yang
masih 20 tahun atau bahkan 19 tahun jelas belum banyak. Jika membicarakan soal
kedewasaan, memang banyak yang lebih muda bisa jauh lebih dewasa dibanding
mereka yang berusia awal 30-an. Tapi, sekali lagi, kedewasaan nggak mulu
tentang kognisi, kan? Pengalaman juga berperan banyak dalam membentuk
kedewasaan.
Ketika kita yang 19 atau 20 tahun ini
masih duduk di bangku kuliah, jelas memiliki perbedaan pengalaman dengan mereka
yang sudah mapan dan berpenghasilan. Dalam menyelesaikan tugas kuliah saja kita
masih grotal gratul, menulis skripsi
saja masih ditunda-tunda dan menunggu ada yang menyindir dulu baru mau on fire
lagi. Bagaimana nanti menyelesaikan konflik kecil dalam rumah tangga? (buat
para perempuan) Membedakan laos dan kunyit saja belum bisa, mau langsung
menikah saja. Bagaimana nanti menyiapkan sarapan untuk suami?
Belum lagi jika bicara masalah anak. Pasangan
mana yang tidak mengidamkan seorang anak? Masalahnya, dengan usia yang masih
sangat belia, khususnya perempuan, apakah sudah matang secara mental dan
kognisi untuk mengandung? Hamil bukanlah sebuah permainan peran yang
sewaktu-waktu boleh kita minta ganti jika tidak kuat atau tidak cocok dengan
itu. Selama 9 bulan 10 hari, seorang bakal bayi tumbuh dan berlindung di dalam
rahim, bukanlah hal yang sepele. Jika masih minim pengetahuan tentang
kehamilan, apa nggak kasihan dengan calon bayinya?
Banyak dari teman-teman kita yang
menikah muda kemudian hamil dan tidak kuat dengan kondisi ibu hamil yang ngapa-ngapain serba susah. Sekedar tidur
saja susah. Bernapas susah, mau makan sedikit muntah, dan sebagainya. Belum
lagi setelah melahirkan, mereka akan mengalami baby blues syndrom atau merasa lelah, sedih dan tidak sanggup
merawat bayi. Nah, kalau sudah begini, bagaimana?
Dari beberapa paragrag yang sudah aku
jabarkan tadi, memang tidak sepenuhnya benar dan terjadi pada semua pasangan
nikah muda. Tapi, ada beberapa dari mereka yang mengalaminya. Nggak jarang lho,
pernikahan di usia muda justru berujung pada perceraian karena masalah yang
datang bertubi-tubi dan tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan emosi
yang nggak meledak-ledak.
Nah, bukan berarti juga menunda menikah itu
justru beralih pada pacaran. Ini jelas BIG NO. Ada baiknya sebelum siap dan
pasti, kita jangan melibatkan perihal perasaan dan hati dulu. Masih banyak hal
positif yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu kesendirian kita sebelum
melepas masa lajang. Bagi kita yang perempuan, penting bagi kita untuk memiliki
pengetahuan mengenai perkembangan anak, dan tentunya pengetahuan perihal rumah
khususnya bagian dapur. Kalau kita saja belum bisa merawat diri kita dengan
baik, bagaimana mau merawat suami kita nanti? Terlebih merawat anak kita
sendiri. Yang ada kita akan kelelahan dan bahkan jangan-jangan menyeret
orangtua lagi dalam rumah tangga.
Tak perlu buru-buru dalam memutuskan
siapa yang akan menjadi pendamping kita. Ketika kita sama-sama berjuang untuk
saling menemukan dengan cara memperbaiki diri dan memantaskan hati, maka
pastilah Allah akan menunjukkan jalan baikNya untuk mempertemukan kita dengan
sosok yang akan menggenapkan kita kelak.
Jika sudah siap betul, nggak ada
salahnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah adalah peristiwa luar
biasa yang didambakan setiap manusia. Berbahagialah yang akan segera menjajaki
tahap besar itu.
Untuk kita yang masih berusaha saling
menemukan, mari bersabar dan terus berdoa. Usaha saja tidak cukup. Doa juga
penting dalam hal ini. Mudah-mudahan pada usia berapapun kita dipertemukan
dengan sosok penggenap nantinya, ridho Allah selalu bersama kita.
Aamiin ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar