Senin, 06 April 2015

Sekilas Pandangan Tentang Nikah Muda


Halo, bloggers di manapun berada. Alhamdulillah di sela kesibukan tugas yang berseliweran di depan mata, aku masih sanggup menuangkan unek-unek dalam bentuk tulisan ini.
Well, kali ini aku gemas ingin membahas mengenai nikah muda yang sepertinya sih sekarang, nikah muda marak lagi. Kenapa aku bilang lagi? Karena dulu, pada generasi baby boomers dulu, nikah muda bukanlah hal yang tabu atau aneh. Banyak dari mereka yang menikah pada usia yang belia.  Bahkan untuk perempuan, menikah pada usia remaja, sekitar 15 atau 16 tahun adalah suatu tradisi pada saat itu. Beberapa dari kita mungkin pernah terkejut mendengar cerita nenek kakek kita dulu, yang menikah setelah lulus SMA atau bahkan setelah lulus SMP. Kita mungkin berdecak kasihan pada mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Banyak yang dipaksa menikah karena orangtua sudah tak mampu lagi membiayai sekolah, dan menganggap pernikahan adalah jalan terbaiknya.
Orangtua zaman dulu biasanya berkata, “Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, lha wong ujung-ujungnya balik neng dapur,”
Nah ternyata, tren nikah muda sekarang kembali muncul ke permukaan. Jangan heran kalau, banyak teman-teman kita yang bahkan baru masuk kuliah, sudah memutuskan untuk menikah. Padahal usia juga belum menginjak kepala dua. Toh mereka santai-santai saja, dan banyak yang bukan karena dipaksa atau dijodohkan.
Memang, nggak ada larangan di agama kita dalam hal menikah muda. Yang jelas-jelas dilarang itu kan pacaran. Justru jauh lebih baik menyegerakan menikah kalau memang sudah siap dan nggak bisa berpuasa lagi. Daripada mengarah ke arah yang nggak baik, lebih baik langsung ke pelaminan.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa benar, ketika memutuskan untuk melepas masa lajang di usia yang belia sesederhana itu tanggung jawabnya? Apa iya, kita sudah siap secara mental untuk hidup berdua dengan seseorang yang bisa dibilang “newbie” dalam hidup kita?
Banyak yang bilang, ketika kita menikah, rejeki menjadi lancar dan kehidupan jauh lebih indah karena setiap harinya melihat sosok yang kita cintai berada di sisi kita. Tapi apa iya, pernikahan itu mulu membahas tentang kebahagiaan? Tentu enggak, kan, bloggers?
Jika dilihat dari usia, ketika kita masih 20 tahun, rasanya tidak sama kesiapan mental maupun kognisinya dengan mereka yang berusia 25 atau 27 tahun, kan? Dari segi pengalaman pun kita yang masih 20 tahun atau bahkan 19 tahun jelas belum banyak. Jika membicarakan soal kedewasaan, memang banyak yang lebih muda bisa jauh lebih dewasa dibanding mereka yang berusia awal 30-an. Tapi, sekali lagi, kedewasaan nggak mulu tentang kognisi, kan? Pengalaman juga berperan banyak dalam membentuk kedewasaan.
Ketika kita yang 19 atau 20 tahun ini masih duduk di bangku kuliah, jelas memiliki perbedaan pengalaman dengan mereka yang sudah mapan dan berpenghasilan. Dalam menyelesaikan tugas kuliah saja kita masih grotal gratul, menulis skripsi saja masih ditunda-tunda dan menunggu ada yang menyindir dulu baru mau on fire lagi. Bagaimana nanti menyelesaikan konflik kecil dalam rumah tangga? (buat para perempuan) Membedakan laos dan kunyit saja belum bisa, mau langsung menikah saja. Bagaimana nanti menyiapkan sarapan untuk suami?
Belum lagi jika bicara masalah anak. Pasangan mana yang tidak mengidamkan seorang anak? Masalahnya, dengan usia yang masih sangat belia, khususnya perempuan, apakah sudah matang secara mental dan kognisi untuk mengandung? Hamil bukanlah sebuah permainan peran yang sewaktu-waktu boleh kita minta ganti jika tidak kuat atau tidak cocok dengan itu. Selama 9 bulan 10 hari, seorang bakal bayi tumbuh dan berlindung di dalam rahim, bukanlah hal yang sepele. Jika masih minim pengetahuan tentang kehamilan, apa nggak kasihan dengan calon bayinya?
Banyak dari teman-teman kita yang menikah muda kemudian hamil dan tidak kuat dengan kondisi ibu hamil yang ngapa-ngapain serba susah. Sekedar tidur saja susah. Bernapas susah, mau makan sedikit muntah, dan sebagainya. Belum lagi setelah melahirkan, mereka akan mengalami baby blues syndrom atau merasa lelah, sedih dan tidak sanggup merawat bayi. Nah, kalau sudah begini, bagaimana?
Dari beberapa paragrag yang sudah aku jabarkan tadi, memang tidak sepenuhnya benar dan terjadi pada semua pasangan nikah muda. Tapi, ada beberapa dari mereka yang mengalaminya. Nggak jarang lho, pernikahan di usia muda justru berujung pada perceraian karena masalah yang datang bertubi-tubi dan tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan emosi yang nggak meledak-ledak.
 Nah, bukan berarti juga menunda menikah itu justru beralih pada pacaran. Ini jelas BIG NO. Ada baiknya sebelum siap dan pasti, kita jangan melibatkan perihal perasaan dan hati dulu. Masih banyak hal positif yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu kesendirian kita sebelum melepas masa lajang. Bagi kita yang perempuan, penting bagi kita untuk memiliki pengetahuan mengenai perkembangan anak, dan tentunya pengetahuan perihal rumah khususnya bagian dapur. Kalau kita saja belum bisa merawat diri kita dengan baik, bagaimana mau merawat suami kita nanti? Terlebih merawat anak kita sendiri. Yang ada kita akan kelelahan dan bahkan jangan-jangan menyeret orangtua lagi dalam rumah tangga.
Tak perlu buru-buru dalam memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping kita. Ketika kita sama-sama berjuang untuk saling menemukan dengan cara memperbaiki diri dan memantaskan hati, maka pastilah Allah akan menunjukkan jalan baikNya untuk mempertemukan kita dengan sosok yang akan menggenapkan kita kelak.
Jika sudah siap betul, nggak ada salahnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah adalah peristiwa luar biasa yang didambakan setiap manusia. Berbahagialah yang akan segera menjajaki tahap besar itu.
Untuk kita yang masih berusaha saling menemukan, mari bersabar dan terus berdoa. Usaha saja tidak cukup. Doa juga penting dalam hal ini. Mudah-mudahan pada usia berapapun kita dipertemukan dengan sosok penggenap nantinya, ridho Allah selalu bersama kita.
Aamiin ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar