Sekumpulan gadis remaja
dengan seragam putih abu-abu itu memenuhi pandanganku siang ini. Mereka sibuk
berceloteh dan sesekali meninggalkan derai tawa di ujung obrolan. Aku hanya
memandangi mereka tanpa ikut menimpali. Maklumlah, umurku yang 9 tahun di atas
mereka tidak mungkin mengerti obrolan remaja, apalagi perempuan. Bukankah
biasanya mereka akan membicarakan seputar sekolah atau laki-laki yang sedang
mereka taksir?
Namun diantara 6 gadis
itu, ada satu yang tidak bisa kulenyapkan dari anganku, bahkan sampai terbawa
dalam mimpi beberapa waktu ini. Gadis berjilbab itu. Pipinya yang tembem tampak
memerah ketika ia malu-malu, menggemaskan. Hidungnya mancung dan senyum selalu
merekah di wajahnya yang tak pernah terlihat berlebihan menggunakan make-up. Senyum itu selalu membuatku
berdebar setiap kami bertemu. Sinar di matanya yang berpendaran tak pernah
gagal menggetarkan jiwa. Aku menyukai gelak tawanya yang renyah dan celotehan
ringannya. Ya, dia satu-satunya gadis yang mewarnai hari-hari melelahkanku.
Aku sudah menjalani
pekerjaan sebagai guru Bahasa Inggris sejak 3 tahun yang lalu di salah satu Bimbingan
Konsultasi Belajar favorit di kota Palembang. Selain menjadi guru bimbel, aku
juga mengisi waktu luang dengan menjadi dosen honor di sebuah universitas
swasta. Namun beberapa bulan terakhir, aku lebih suka memenuhi jadwalku di
bimbel daripada mengajar di kampus. Itu terjadi begitu saja sejak aku jatuh
cinta pada seorang gadis SMA yang sekaligus berstatus sebagai muridku di
bimbel.
Hari itu menjadi minggu
ketiga di awal semester ganjil. Jadwal mengajarku cukup padat dan yang membuat
berat adalah keharusan mengajar siswa kelas 3 SMA. Tentu saja untuk mereka,
usaha mengajarku harus lebih ekstra karena mereka akan menghadapi ujian
nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.
Aku membaca materi yang
akan kusampaikan di kelas nanti ketika seorang siswa dengan seragam putih
abu-abu mendorong pintu masuk. Dari seragamnya, aku tahu, dia bersekolah di SMA
terfavorit di Palembang. Gadis itu berjilbab, dan pipinya yang berisi tampak
kemerahan. Mungkin karena cuaca di luar yang panas. Senyum merekah di wajahnya.
Manis sekali. “Assalamualaikum,”
sapanya pelan.
“Waalaikumussalam,” jawabku dan staff administrasi yang duduk di
sampingku.
Gadis itu meletakkan
tasnya di meja staff, tepat di serong kiriku. Matanya mengarah pada papan
jadwal pelajaran hari ini, sambil menggumam pelan.
“Sendirian aja? Mana
yang lain?” tanya Mas Yudha, salah satu staff dari balik komputer.
“Belum pada dateng,
Mas. Mungkin masih di jalan. Kinan kan pergi sendiri, nggak bareng mereka,”
jawab gadis itu, lalu mengeluarkan sketch
book dari tasnya dan mulai asyik mencorat-coret.
Diam-diam, aku mencatat
namanya. Kinan.
“Kelas mana, Kinan?”
tanyaku. Aku memang beberapa kali melihatnya, tapi rasa-rasanya kami belum
pernah bertemu di kelas.
Ia menoleh, tersenyum,
“U2, Kak,” jawabnya.
“Oh, perasaan Kakak
udah pernah ngajar di U2, tapi kok nggak lihat kamu, ya?”
Dia tertawa kecil.
Semakin manis. “Minggu lalu Kinan emang bolos les, Kak, hehe. Banyak tugas di
sekolah sih. Kakak... ngajar apa?”
“Oh gitu. Bahasa
Inggris. Tuh, hari ini Kakak ngajar kelasmu,” aku menunjuk papan jadwal, dan
dia mengikuti pandanganku lalu manggut-manggut mengerti.
Tidak lama kemudian,
rombongan gadis dengan seragam yang sama dengannya mendorong pintu masuk dan
langsung disambut dengan senyum riangnya. Mereka lantas mengobrol dengan ramai
dan tertawa kompak. Aku diam-diam memperhatikannya, seketika menggetarkan hati
dan sesuatu entah apa seolah mengaduk perutku setiap dia tersenyum.
Lamunanku buyar ketika
bel masuk berdering. Aku buru-buru membereskan laptop dan buku materi untuk masuk
ke kelas.
Sejak hari itu, aku
tahu, Kinan adalah gadis yang pintar, ceria dan gampang tertawa. Aku suka
caranya menghargaiku saat aku mengajar di kelas dan teman-temannya yang lain
sibuk mengobrol atau bermain.
Entah kenapa, malam di
hari yang sama, bayangan wajah Kinan dan senyum polosnya terbayang-bayang di
mataku. Membuatku ingin terus bertemu dengannya dan mendengar desah tawanya.
Sepertinya aku memang jatuh cinta pada gadis berumur 18 tahun ini. Kinan kini
mengisi relung hatiku yang sudah lama kosong. Aku selalu menantikan jadwal
mengajar di kelas Kinan. Kalaupun hari Sabtu aku tidak ada jadwal, aku
merelakan waktu istirahat untuk main ke tempat les, hanya untuk melihat Kinan,
menyapanya, mendengar tawanya.
Hari-hari berlalu dan
hubungan kami semakin baik. Terkadang aku mengajak Kinan mengobrol sekaligus
mengisi waktunya ketika belum dijemput. Aku suka mendengar cerita ringannya di
sekolah, curhatannya tentang kesibukan atau banyaknya tugas dan tentu saja
guyonan khas yang diakhiri dengan tawa renyahnya.
Namun, penyegar
hari-hariku itu tiba-tiba saja menjauh. Ini memang kesalahanku karena aku... lalai.
Aku tidak sengaja mengeluarkan kata-kata terkutuk yang membuatku menyesal
sampai detik ini. Aku keceplosan ‘mengungkapkan’ perasaan terpendamku padanya
hari itu. Sial betul diriku karena tidak menahan kata-kata, “Kakak kangen
kamu,” kepadanya dan sejak itu, perlahan tapi pasti, gadis periang-ku menjauh
dari sisiku.
“Pak Angga, sudah absen
belum?” tiba-tiba suara Mas Yudha, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan
mendapati buku absensi pengajar disodorkan oleh Mas Yudha.
“Ngelamun aja dari
tadi,” kata Mas Yudha.
Aku hanya meringis
seraya mengisi absen sementara celotehan 6 gadis remaja yang kukenal baik itu
masih terdengar memenuhi ruangan. Mereka memang selalu begitu.
Tidak lama kemudian,
beberapa diantara mereka naik ke lantai 2, ke ruangan mereka. Sementara Kinan
dan salah satu temannya masih mengobrol di meja itu.
“Nggak masuk ruangan
juga, Ki?” tanyaku pelan.
Ia menoleh, matanya
yang tajam menusuk jantung, melahirkan getaran dahsyat, “Belum. Kan kelas mulai
15 menit lagi,” jawabnya singkat, tanpa senyum.
Aku kembali diam. Sudah
begitu jelas terpancar di wajahnya. Ia terganggu. Ia tidak lagi menginginkan
aku bertanya atau mengajaknya mengobrol. Ia tidak lagi nyaman berada di
sekitarku. Sungguh, aku menyesali kebodohanku saat itu. Jika saja hari itu aku
menahan perasaanku, mungkin sampai sekarang, penyegar hari-hariku masih
tersenyum padaku, menjawab semua pertanyaanku dengan derai tawa di sudut bibirnya.
Aku hanya bisa memandanginya. Terus memandanginya dengan hati yang tergerus
karena cinta dalam diam seperti ini.
Malam ini sama seperti
malam-malam kemarin setelah Kinan pergi dari sisiku. Aku memandangi ponsel yang
tidak lagi berdering karena pesan singkat darinya, atau balasan mention dari-nya di akun Twitter-ku. Aku merindukan saat-saat
itu. Maka, dengan sisa-sisa perasaan, aku membuka sosial media twitter dan langsung membuka akun
miliknya setelah login.
Aku meng-klik fotonya.
Manis sekali. Namun mataku terpaku ketika membaca tweet-nya kemarin malam. Ia tampak begitu asyik mengobrol dengan
seseorang. Oh Tuhan.
Seperti orang kesetanan
karena cemburu sekaligus penasaran, aku membuka percakapan gadis penyegarku dan
laki-laki yang terlihat lebih dewasa darinya itu. Hatiku terbakar membacanya.
Mereka begitu...akrab.
Tak lama kemudian,
muncul tweet baru darinya. Begitu
bahagia layaknya orang yang jatuh cinta. Kepalaku mendadak berputar-putar.
Pedih rasanya melihat gadis yang aku sayangi jatuh cinta pada laki-laki lain.
Sudah tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk setidaknya meminta maaf atas
perkataan bodohku, mendekatinya lagi, memulai semuanya dari awal dan pada
akhirnya benar-benar menyatakan perasaanku.
Aku melempar ponselku
asal, dan kualihkan pandangan ke meja kecil di samping kasur. Disanalah gadis
itu tersenyum manis, menatapku. Itu adalah foto Kinan yang kusimpan di ponsel
dan akhirnya kucetak, lalu uletakkan dalam bingkai foto.
Kuelus pelan wajahnya
yang menggemaskan. “Andai saja kamu tahu bagaimana perasaanku, Ki,” bisikku.
Perasaan tidak rela ikut menggerus hatiku yang tinggal separuh karena
mencintainya dalam diam. Mau apalagi?
Ini memang kisah
cintaku yang seperti domino. Aku jatuh cinta padanya, namun dia jatuh cinta
pada laki-laki lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar