Jumat, 06 Februari 2015

Cinta Dalam Diam




Sekumpulan gadis remaja dengan seragam putih abu-abu itu memenuhi pandanganku siang ini. Mereka sibuk berceloteh dan sesekali meninggalkan derai tawa di ujung obrolan. Aku hanya memandangi mereka tanpa ikut menimpali. Maklumlah, umurku yang 9 tahun di atas mereka tidak mungkin mengerti obrolan remaja, apalagi perempuan. Bukankah biasanya mereka akan membicarakan seputar sekolah atau laki-laki yang sedang mereka taksir?
Namun diantara 6 gadis itu, ada satu yang tidak bisa kulenyapkan dari anganku, bahkan sampai terbawa dalam mimpi beberapa waktu ini. Gadis berjilbab itu. Pipinya yang tembem tampak memerah ketika ia malu-malu, menggemaskan. Hidungnya mancung dan senyum selalu merekah di wajahnya yang tak pernah terlihat berlebihan menggunakan make-up. Senyum itu selalu membuatku berdebar setiap kami bertemu. Sinar di matanya yang berpendaran tak pernah gagal menggetarkan jiwa. Aku menyukai gelak tawanya yang renyah dan celotehan ringannya. Ya, dia satu-satunya gadis yang mewarnai hari-hari melelahkanku.
Aku sudah menjalani pekerjaan sebagai guru Bahasa Inggris sejak 3 tahun yang lalu di salah satu Bimbingan Konsultasi Belajar favorit di kota Palembang. Selain menjadi guru bimbel, aku juga mengisi waktu luang dengan menjadi dosen honor di sebuah universitas swasta. Namun beberapa bulan terakhir, aku lebih suka memenuhi jadwalku di bimbel daripada mengajar di kampus. Itu terjadi begitu saja sejak aku jatuh cinta pada seorang gadis SMA yang sekaligus berstatus sebagai muridku di bimbel.
Hari itu menjadi minggu ketiga di awal semester ganjil. Jadwal mengajarku cukup padat dan yang membuat berat adalah keharusan mengajar siswa kelas 3 SMA. Tentu saja untuk mereka, usaha mengajarku harus lebih ekstra karena mereka akan menghadapi ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.
Aku membaca materi yang akan kusampaikan di kelas nanti ketika seorang siswa dengan seragam putih abu-abu mendorong pintu masuk. Dari seragamnya, aku tahu, dia bersekolah di SMA terfavorit di Palembang. Gadis itu berjilbab, dan pipinya yang berisi tampak kemerahan. Mungkin karena cuaca di luar yang panas. Senyum merekah di wajahnya. Manis sekali. “Assalamualaikum,” sapanya pelan.
Waalaikumussalam,” jawabku dan staff administrasi yang duduk di sampingku.
Gadis itu meletakkan tasnya di meja staff, tepat di serong kiriku. Matanya mengarah pada papan jadwal pelajaran hari ini, sambil menggumam pelan.
“Sendirian aja? Mana yang lain?” tanya Mas Yudha, salah satu staff dari balik komputer.
“Belum pada dateng, Mas. Mungkin masih di jalan. Kinan kan pergi sendiri, nggak bareng mereka,” jawab gadis itu, lalu mengeluarkan sketch book dari tasnya dan mulai asyik mencorat-coret.
Diam-diam, aku mencatat namanya. Kinan.
“Kelas mana, Kinan?” tanyaku. Aku memang beberapa kali melihatnya, tapi rasa-rasanya kami belum pernah bertemu di kelas.
Ia menoleh, tersenyum, “U2, Kak,” jawabnya.
“Oh, perasaan Kakak udah pernah ngajar di U2, tapi kok nggak lihat kamu, ya?”
Dia tertawa kecil. Semakin manis. “Minggu lalu Kinan emang bolos les, Kak, hehe. Banyak tugas di sekolah sih. Kakak... ngajar apa?”
“Oh gitu. Bahasa Inggris. Tuh, hari ini Kakak ngajar kelasmu,” aku menunjuk papan jadwal, dan dia mengikuti pandanganku lalu manggut-manggut mengerti.
Tidak lama kemudian, rombongan gadis dengan seragam yang sama dengannya mendorong pintu masuk dan langsung disambut dengan senyum riangnya. Mereka lantas mengobrol dengan ramai dan tertawa kompak. Aku diam-diam memperhatikannya, seketika menggetarkan hati dan sesuatu entah apa seolah mengaduk perutku setiap dia tersenyum.
Lamunanku buyar ketika bel masuk berdering. Aku buru-buru membereskan laptop dan buku materi untuk masuk ke kelas.
Sejak hari itu, aku tahu, Kinan adalah gadis yang pintar, ceria dan gampang tertawa. Aku suka caranya menghargaiku saat aku mengajar di kelas dan teman-temannya yang lain sibuk mengobrol atau bermain.
Entah kenapa, malam di hari yang sama, bayangan wajah Kinan dan senyum polosnya terbayang-bayang di mataku. Membuatku ingin terus bertemu dengannya dan mendengar desah tawanya. Sepertinya aku memang jatuh cinta pada gadis berumur 18 tahun ini. Kinan kini mengisi relung hatiku yang sudah lama kosong. Aku selalu menantikan jadwal mengajar di kelas Kinan. Kalaupun hari Sabtu aku tidak ada jadwal, aku merelakan waktu istirahat untuk main ke tempat les, hanya untuk melihat Kinan, menyapanya, mendengar tawanya.
Hari-hari berlalu dan hubungan kami semakin baik. Terkadang aku mengajak Kinan mengobrol sekaligus mengisi waktunya ketika belum dijemput. Aku suka mendengar cerita ringannya di sekolah, curhatannya tentang kesibukan atau banyaknya tugas dan tentu saja guyonan khas yang diakhiri dengan tawa renyahnya.
Namun, penyegar hari-hariku itu tiba-tiba saja menjauh. Ini memang kesalahanku karena aku... lalai. Aku tidak sengaja mengeluarkan kata-kata terkutuk yang membuatku menyesal sampai detik ini. Aku keceplosan ‘mengungkapkan’ perasaan terpendamku padanya hari itu. Sial betul diriku karena tidak menahan kata-kata, “Kakak kangen kamu,” kepadanya dan sejak itu, perlahan tapi pasti, gadis periang-ku menjauh dari sisiku.
“Pak Angga, sudah absen belum?” tiba-tiba suara Mas Yudha, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati buku absensi pengajar disodorkan oleh Mas Yudha.
“Ngelamun aja dari tadi,” kata Mas Yudha.
Aku hanya meringis seraya mengisi absen sementara celotehan 6 gadis remaja yang kukenal baik itu masih terdengar memenuhi ruangan. Mereka memang selalu begitu.
Tidak lama kemudian, beberapa diantara mereka naik ke lantai 2, ke ruangan mereka. Sementara Kinan dan salah satu temannya masih mengobrol di meja itu.
“Nggak masuk ruangan juga, Ki?” tanyaku pelan.
Ia menoleh, matanya yang tajam menusuk jantung, melahirkan getaran dahsyat, “Belum. Kan kelas mulai 15 menit lagi,” jawabnya singkat, tanpa senyum.
Aku kembali diam. Sudah begitu jelas terpancar di wajahnya. Ia terganggu. Ia tidak lagi menginginkan aku bertanya atau mengajaknya mengobrol. Ia tidak lagi nyaman berada di sekitarku. Sungguh, aku menyesali kebodohanku saat itu. Jika saja hari itu aku menahan perasaanku, mungkin sampai sekarang, penyegar hari-hariku masih tersenyum padaku, menjawab semua pertanyaanku dengan derai tawa di sudut bibirnya. Aku hanya bisa memandanginya. Terus memandanginya dengan hati yang tergerus karena cinta dalam diam seperti ini.
Malam ini sama seperti malam-malam kemarin setelah Kinan pergi dari sisiku. Aku memandangi ponsel yang tidak lagi berdering karena pesan singkat darinya, atau balasan mention dari-nya di akun Twitter-ku. Aku merindukan saat-saat itu. Maka, dengan sisa-sisa perasaan, aku membuka sosial media twitter dan langsung membuka akun miliknya setelah login.
Aku meng-klik fotonya. Manis sekali. Namun mataku terpaku ketika membaca tweet­­­-nya kemarin malam. Ia tampak begitu asyik mengobrol dengan seseorang. Oh Tuhan.
Seperti orang kesetanan karena cemburu sekaligus penasaran, aku membuka percakapan gadis penyegarku dan laki-laki yang terlihat lebih dewasa darinya itu. Hatiku terbakar membacanya. Mereka begitu...akrab.
Tak lama kemudian, muncul tweet baru darinya. Begitu bahagia layaknya orang yang jatuh cinta. Kepalaku mendadak berputar-putar. Pedih rasanya melihat gadis yang aku sayangi jatuh cinta pada laki-laki lain. Sudah tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk setidaknya meminta maaf atas perkataan bodohku, mendekatinya lagi, memulai semuanya dari awal dan pada akhirnya benar-benar menyatakan perasaanku.
Aku melempar ponselku asal, dan kualihkan pandangan ke meja kecil di samping kasur. Disanalah gadis itu tersenyum manis, menatapku. Itu adalah foto Kinan yang kusimpan di ponsel dan akhirnya kucetak, lalu uletakkan dalam bingkai foto.
Kuelus pelan wajahnya yang menggemaskan. “Andai saja kamu tahu bagaimana perasaanku, Ki,” bisikku. Perasaan tidak rela ikut menggerus hatiku yang tinggal separuh karena mencintainya dalam diam. Mau apalagi?
Ini memang kisah cintaku yang seperti domino. Aku jatuh cinta padanya, namun dia jatuh cinta pada laki-laki lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar