Akhirnya
bisa kembali menghela napas sejenak dan menuangkan kata-kata dalam bentuk
tulisan setelah hampir 2 bulan “cuti” dari dunia tulis menulis. Kali ini aku
ingin membahas tentang fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Percaya atau tidak, setiap hal yang terjadi dalam hidup kita bisa
menjadi pelajaran yang berharga jika kita memaknai setiap hal tersebut dengan
penuh kerendahan hati dan rasa syukur, sekaligus ajang untuk memperbaiki diri.
Salah
satu pelajaran penting yang aku temui terutama setelah aku resmi menjadi
seorang mahasiswa jurusan Psikologi adalah pentingnya mendengarkan orang lain. Sebagai
calon lulusan sarjana psikologi, yang kata banyak orang adalah gudangnya tempat
curhat, aku mulai mengerti bahwa mendengarkan adalah life skill paling sulit yang harus dikuasai. Duduk diam, bisa
bermenit bahkan berjam-jam untuk memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan
oleh lawan bicara kita, tanpa ada celah untuk balas mengeluarkan kata-kata
sebelum lawan bicara mempersilahkan kita untuk bicara adalah pekerjaan paling
sulit. Namun aku dan kami, mahasiswa psikologi memiliki space tersendiri untuk menguasai hal itu.
Coba
bayangkan bagaimana jadinya jika seorang psikolog, tapi enggan mendengarkan?
Sesungguhnya,
tidak hanya kami yang akan menjadi seorang sarjana psikologi saja yang harus
mempelajari skill mendengarkan itu.
Semua orang, selama ingin menjalin hubungan yang baik dengan banyak orang,
tentunya harus menguasai skill tersebut.
Tapi
sayangnya, tidak semua orang memahami hal ini. Tidak semua orang mau memahami
pentingnya mendengarkan orang lain. Kebanyakan masih sibuk dengan pendapat
sendiri, mempertahankan ego pada dinding pertahanan tertinggi, bahkan tidak
peduli dengan kesalahan besar pada pendapat sendiri itu. Sibuk bicara semaunya
tanpa peduli ketika orang lain sedang berbicara.
Ini
sering terlihat dalam kondisi forum diskusi, kegiatan belajar mengajar di
kelas, bahkan hingga ke kondisi yang sangat informal seperti obrolan ringan
dengan teman-teman. Contoh mudahnya di kelas, banyak dari siswa atau mahasiswa
yang kadang bosan dengan materi yang sedang dijelaskan oleh guru atau dosen
lalu memilih untuk membuat “forum sendiri” dengan sesama teman. Pada akhirnya
mereka membuat kondisi kelas menjadi gaduh hanya karena hal sepele yaitu “bosan”.
Hal ini jelas mengganggu siswa atau mahasiswa lain yang ingin fokus pada
materi. Tidak hanya mahasiswa yang terganggu, tapi juga dosen atau guru yang
mengajar akan terganggu konsentrasinya akibat kegaduhan yang diciptakan oleh
oknum.
Mungkin
kedengarannya sepele, hanya sekedar mengusir rasa bosan dengan mengobrol
bersama teman terdekat. Tapi efeknya bisa luar biasa memenuhi kelas, kan? Ada
waktunya kita didengarkan. Ada waktunya juga kita mendengarkan.
Hal
lain terjadi lagi dalam forum diskusi yang diawali oleh presentasi. Akibat rasa
bosan atau tidak tertarik dengan materi yang dipaparkan, orang-orang memilih untuk
mengobrol sendiri dengan teman tanpa memperdulikan penyaji materi tersebut.
Pertanyaan
besarnya adalah mengapa masih banyak yang tidak memperdulikan seseorang yang
sedang berbicara dan mengemukakan ide mereka? Namun di sisi lain, ketika yang
tidak peduli itu bicara, ia ingin didengarkan. Lagi, pertanyaannya adalah
bagaimana mungkin kita meminta untuk didengarkan sedangkan kita saja malas
untuk mendengarkan?
Pelajaran
penting yang perlu ditanamkan pada setiap kita adalah belajar untuk mendengarkan
memang tidak mudah. Tapi ketika kita bisa merasakan bagaimana rasanya tidak
didengarkan, maka kita akan memahami bahwa jika ingin didengarkan, dengarkanlah
orang lain.
Percaya
atau tidak, kita tidak perlu meminta secara terang terangan kepada orang lain
untuk menghargai kita, mendengarkan kita ketika bicara, asalkan kita mampu
untuk mendengarkan orang lain terlebih dahulu. Kita akan dihargai apabila kita
bisa menghargai. Tidak perlu mencari hormat orang lain, tapi kita bisa
menciptakannya melalui pribadi kita sendiri.
Nah,
teman-teman masih ragu untuk berbuat kebaikan melalui hal sederhana seperti mendengarkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar