Rabu, 24 Desember 2014

Pentingnya Mendengarkan Sebelum Didengarkan


Akhirnya bisa kembali menghela napas sejenak dan menuangkan kata-kata dalam bentuk tulisan setelah hampir 2 bulan “cuti” dari dunia tulis menulis. Kali ini aku ingin membahas tentang fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Percaya atau tidak, setiap hal yang terjadi dalam hidup kita bisa menjadi pelajaran yang berharga jika kita memaknai setiap hal tersebut dengan penuh kerendahan hati dan rasa syukur, sekaligus ajang untuk memperbaiki diri.

Salah satu pelajaran penting yang aku temui terutama setelah aku resmi menjadi seorang mahasiswa jurusan Psikologi adalah pentingnya mendengarkan orang lain. Sebagai calon lulusan sarjana psikologi, yang kata banyak orang adalah gudangnya tempat curhat, aku mulai mengerti bahwa mendengarkan adalah life skill paling sulit yang harus dikuasai. Duduk diam, bisa bermenit bahkan berjam-jam untuk memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan oleh lawan bicara kita, tanpa ada celah untuk balas mengeluarkan kata-kata sebelum lawan bicara mempersilahkan kita untuk bicara adalah pekerjaan paling sulit. Namun aku dan kami, mahasiswa psikologi memiliki space tersendiri untuk menguasai hal itu.

Coba bayangkan bagaimana jadinya jika seorang psikolog, tapi enggan mendengarkan?

Sesungguhnya, tidak hanya kami yang akan menjadi seorang sarjana psikologi saja yang harus mempelajari skill mendengarkan itu. Semua orang, selama ingin menjalin hubungan yang baik dengan banyak orang, tentunya harus menguasai skill tersebut.  

Tapi sayangnya, tidak semua orang memahami hal ini. Tidak semua orang mau memahami pentingnya mendengarkan orang lain. Kebanyakan masih sibuk dengan pendapat sendiri, mempertahankan ego pada dinding pertahanan tertinggi, bahkan tidak peduli dengan kesalahan besar pada pendapat sendiri itu. Sibuk bicara semaunya tanpa peduli ketika orang lain sedang berbicara.

Ini sering terlihat dalam kondisi forum diskusi, kegiatan belajar mengajar di kelas, bahkan hingga ke kondisi yang sangat informal seperti obrolan ringan dengan teman-teman. Contoh mudahnya di kelas, banyak dari siswa atau mahasiswa yang kadang bosan dengan materi yang sedang dijelaskan oleh guru atau dosen lalu memilih untuk membuat “forum sendiri” dengan sesama teman. Pada akhirnya mereka membuat kondisi kelas menjadi gaduh hanya karena hal sepele yaitu “bosan”. Hal ini jelas mengganggu siswa atau mahasiswa lain yang ingin fokus pada materi. Tidak hanya mahasiswa yang terganggu, tapi juga dosen atau guru yang mengajar akan terganggu konsentrasinya akibat kegaduhan yang diciptakan oleh oknum.

Mungkin kedengarannya sepele, hanya sekedar mengusir rasa bosan dengan mengobrol bersama teman terdekat. Tapi efeknya bisa luar biasa memenuhi kelas, kan? Ada waktunya kita didengarkan. Ada waktunya juga kita mendengarkan.

Hal lain terjadi lagi dalam forum diskusi yang diawali oleh presentasi. Akibat rasa bosan atau tidak tertarik dengan materi yang dipaparkan, orang-orang memilih untuk mengobrol sendiri dengan teman tanpa memperdulikan penyaji materi tersebut.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa masih banyak yang tidak memperdulikan seseorang yang sedang berbicara dan mengemukakan ide mereka? Namun di sisi lain, ketika yang tidak peduli itu bicara, ia ingin didengarkan. Lagi, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin kita meminta untuk didengarkan sedangkan kita saja malas untuk mendengarkan?

Pelajaran penting yang perlu ditanamkan pada setiap kita adalah belajar untuk mendengarkan memang tidak mudah. Tapi ketika kita bisa merasakan bagaimana rasanya tidak didengarkan, maka kita akan memahami bahwa jika ingin didengarkan, dengarkanlah orang lain.

Percaya atau tidak, kita tidak perlu meminta secara terang terangan kepada orang lain untuk menghargai kita, mendengarkan kita ketika bicara, asalkan kita mampu untuk mendengarkan orang lain terlebih dahulu. Kita akan dihargai apabila kita bisa menghargai. Tidak perlu mencari hormat orang lain, tapi kita bisa menciptakannya melalui pribadi kita sendiri.

Nah, teman-teman masih ragu untuk berbuat kebaikan melalui hal sederhana seperti mendengarkan?

Minggu, 21 Desember 2014

Sepenggal Kata Pembuka

Assalamualaikum, bloggers!

Perkenalkan, namaku Talitha Quratu Aini, selalu dipanggil Talitha. Saat ini aku masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Islam Indonesia, prodi Psikologi. Sebelum memulai tulisan lainnya, ada baiknya aku mengawali dengan ucapan syukur dan ribuan terimakasih :)

Pertama, aku ucapkan rasa syukur yang luar biasa kepada Allah SWT, karena atas anugerah yang diberikan kepadaku, aku bisa kembali menulis dan berbagi pada dunia tentang berbagai hal yang aku alami. Alhamdulillahirobbil'alamin :)

Kedua, terimakasih untuk kedua orangtua dan kakakku tersayang yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang yang tidak ada habisnya untukku. Selalu memberikan inspirasi bagiku untuk terus menulis dan mengejar mimpi serta cita-cita untuk menjadi penulis kelak. I love my family so much :)

Ketiga, terimakasih untuk seseorang yang selalu menjadi nomor tiga setelah ayah dan kakak laki-lakiku, seseorang yang selalu menjadi inspirasiku untuk terus berkarya dan semangat kuliah. Seseorang yang mengajarkan pentingnya rasa syukur dan kekuatan doa yang tiada habisnya. Terimakasih karena ketulusan yang luar biasa. Aku terus menulis karena kamu juga.

Keempat, terimakasih untuk sahabat dan teman-teman yang turut memberikan dukungan untukku agar tetap menulis dan berbagi cerita pada dunia. Kalian luar biasa, guys!

Terakhir, terimakasih pada kalian, pecinta blog yang menyediakan waktu untuk membaca dan tersenyum karena tulisanku ini. Keep writing, bloggers :)

Aku sadar, dalam pembuatan blog ini masih banyak kesalahan dan kekurangan di sana-sini. Tapi aku akan berusaha untuk terus belajar dan memperbaiki kesalahan. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kesempatan padaku untuk tetap berbagi ilmu pada dunia. Aamiin. Saran dan kritik sangat kutunggu karena dari sanalah aku bangkit.

That's all about me. Thank you!
Wassalamualaikum.
:)